BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL PENELITIAN
Membuat warnet tidaklah sulit. Jika komputer kita belum terhubung dengan jaringan yang ada, maka lebih baik sebelum itu kita melakukan instalasi software maupun hardware didalam jaringan komputer yang ada terlebih dahulu agar memudahkan kita. Beberapa persiapan yang kita butuhkan diantaranya :
Beberapa langkah persiapan membuat warnet yang diperlukan adalah :
4.2 PEMBAHASAN
Jaringan Komputer adalah sekelompok komputer otonom yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya menggunakan protokol komunikasi melalui media komunikasi sehingga dapat saling berbagi informasi, program – program, penggunaan bersama perangkat keras seperti printer, harddisk, dan sebagainya. Selain itu jaringan komputer bisa diartikan sebagai kumpulan sejumlah terminal komunikasi yang berada diberbagai lokasi yang terdiri dari lebih satu komputer yang saling berhubungan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari proposal usaha membuat warnet saya yaitu :
1. Fasilitas ruangan yang dingin dan nyaman , fasilitas sound system , fasilitas komputer yang sangat lengkap dan tempat parkir kendaraan yang aman dan nyaman
2. Kebijakan pemerintah yang sudah memberi surat ijin untuk mendirikan usaha warnet saya.
3. Hadiah yang sangat menarik untuk para member yang setia pada warnet saya.
4. Dan warnet saya dapat menerima jasa pengetikan dan printer berwarna.
5.2 PENUTUP
Demikian proposal yang kami buat, semoga langkah ini dapat turut andil dalam mencerdaskan bangsa dan memberikan lapangan pekerjaan dan memajukan ekonomi Indonesia. Proposal ini juga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pihak instansi terkait untuk memberikan bantuan dana serta bimbingan teknis dalam pengelolaan warnet nantinya.
Semoga Allah SWT memberikan berkat dan Rahmatnya bagi kita semua, sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terima kasih banyak.
Minggu, 24 Januari 2016
misteri nilai A
Hujan deras yang tak kunjung reda saat itu membuat Evendi sedikit terlambat berangkat ke kampus, setelah semua jalan mulai mengering, dengan motor jupiter mx ia berangkat ke kampus tercintanya. Waktu itu sedang jadwal mata kuliah Matematika. Evendi tidak sadar bahwa dosennya telah berang setengah mati menunggu mahasiswanya banyak yang belum hadir. Tik-tok tik-tok suara sepatu sepatu menyentuh lantai, dengan nada pelan.
“Assalamualaikum, Bu,” Evendi memberi salam dengan hati deg-degan.
“Waalaikumsalam, kenapa kamu terlambat?” Tanya dosen matematika itu dengan geram.
“Maaf Bu tadi terjebak hujan,” sahut Evendi seraya melihat ke arah lantai.
“Oh ya sudah kamu pulang saja, ini sudah terlambat tidak bisa masuk lagi, kamu jangan seenaknya saja ya?” Tegas dosennya dengan nada tinggi.
“Kok Ibu gitu sih, Ibu kan bisa lihat keadaan saya yang sudah basah kuyup seperti ini, kenapa harus menyuruh saya pulang?” Tambah Evendi dengan nada loyo dan sedikit takut.
“Alam sedang tidak mendukung, tadinya di daerah saya hujan, mana mungkin saya datang tepat waktu,” tandas Evendi.
Dosen matematika yang juga bernama Lasmini itu tidak lagi menjawab, ia langsung memasang wajah muram, apalagi saat itu hanya ada tiga mahasiswa yang hadir. Evendi dengan wajah pucat dan penuh keringat bercampur air hujan tetap masuk mengikuti mata kuliah itu, Ibu Lasmini tetap memberi alpa di absen, wajah pucat dan lutut gemetar nampak dari tubuh Evendi, ia mulai tidak tenang saat duduk di kursi, matanya sesekali melihat ke luar jendela ruangan, entah apa yang dilihatnya.
Tiga bulan berlalu, dia dan kawan-kawan mengikuti ujian tertulis, kertas jawaban Evendi terisi dengan penuh, tidak ada halaman yang tersisa dari dua lembar kertas jawaban yang diberikan. Evendi mulai melangkah ke luar dari ruangan, wajahnya terlihat sangat ceria karena bisa menyelesaikan semua soal tanpa lagi mengingat insiden perdebatannya dulu. Selang satu minggu, akhirnya hasil ujian sudah bisa dinikmati.
Evendi sudah tidak sabar untuk melihatnya, wajahnya kaget dan matanya terbelalak saat melihat nilai ujian yang didapatinya adalah ‘D’ sudut ruangan yang kumuh dan tak terawat di samping jurusannya menjadi tempat renungan bagi Evendi. Paras putihnya penuh dengan linangan air mata, ia hanya tertunduk lesu diam seribu bahasa. Tidak ada kata-kata yang ke luar dari mulutnya, hatinya hancur berkeping-keping saat melihat mading yang berisikan nilai hasil usaha satu semesternya.
Kondisi fisiknya pucat, sedikit rasa penyesalan datang, kenapa ia memilih jurusan FKIP Ekonomi di Universitas Serambi Mekkah itu. Satu jam ia habiskan waktu untuk meratapi nasibnya, kemudian Evendi menghidupkan motornya dan kembali pulang ke rumah. Dia larut dalam keadaan, Evendi mencoba untuk melupakan semua apa yang baru saja terjadi. Tidak pernah patah arang, semangat untuk mencoba lagi selalu tumbuh dalam dirinya.
Semester selanjutnya ia kembali mendaftar mata pelajaran Ibu Lasmini itu, semester baru berjalan lancar, dia mulai bertegur sapa lagi dengan dosennya itu. Suasana sudah kondusif, saat ujian tiba, pulpen Evendi menari bebas di atas lembar jawaban yang diberikan, semua diisi penuh oleh Evendi tanpa tersisa sedikit pun. Besok Senin tanggal 15 Oktober 2014 nilai akan ditempelkan di mading (majalah dinding) jurusan.
Perasaan senang mengalahkan rasa dingin yang menusuk sampai ke dalam tulang, jam enam subuh Evendi bangun, merapikan tempat tidur sebentar, dan langsung menyalakan motornya. Sebelum matahari ke luar dari peraduannya dia bergegas menuju kampus, walaupun agak jauh dari tempat kediamannya. Dia begitu semangat untuk melihat hasil kerja kerasnya. Evendi sudah tiba di tempat tujuan.
Hatinya yang penuh tanda tanya dalam sekejap berubah, tidak ada senyum terlihat dari bibirnya, dalam sekejap wajahnya menjadi pucat pasi. Matanya melotot saat melihat namanya menerima nilai ‘D’ lagi. Tidak ingin berlama-lama, dia langsung menyalakan motornya untuk kembali pulang. Kasur yang empuk menjadi tempat ia mengadu, “kenapa nasibku seperti ini, akankah ada keberuntungan menghampiriku?” Keluh Evendi dengan matanya sedikit berkaca-kaca.
Tahun depan ia kembali mencoba untuk yang terakhir kali, siapa tahu nasib baik ada bersamanya. Masuk kuliah Evendi datang tepat waktu, patuh, taat, dan semua perintah dosen iya kerjakan, hampir tidak ada hari ia datang lebih cepat dari kawan-kawannya yang lain. Ternyata setelah selesai mengikuti mata kuliah itu lagi, nasib mujur masih belum bersahabat dengannya, dia kembali menerima nilai seperti pertama mengikuti pelajaran itu.
Tiga hari mengurung diri di rumah, Evendi seperti orang kehilangan istri, seakan ia tidak sanggup menerima kenyataan pahit itu. Segala cara telah dilakukan, namun semuanya tidak ada arti, tiga jeriken bensin iya habiskan hanya untuk mencari nilai ‘A,’ tapi entah mengapa dosennya itu tidak pernah mengerti.
Tiga malam Evendi tidur tidak nyenyak makan tak enak, ia harus memutar otak tujuh kali lipat untuk mencari solusi agar ia bisa mendapatkan nilai bagus. Ia sudah mulai senyum-senyum sendiri. Pagi buta itu Evendi menghidupkan tunggangannya, ia memacu kuda besinya 120 Kmj demi berangkat ke rumah dosen yang telah memberikan tiga kali nilai jelek kepadanya itu. Evendi sudah sampai di depan pintu rumah dosennya.
“Tok-tok-tok,” bunyi suara ketukan pintu.
“Iya, siapa di luar?” Tanya Ibu Lasmini.
“Oeh…. kamu Evendi, ngapain kamu ke sini, siapa suruh pagi-pagi ke rumah saya?” Lanjut dosennya itu.
“Aku heran Bu, kenapa Ibu terus menyiksa saya, tiga kali saya ikut mata kuliah Ibu, tapi kenapa Ibu memberikan nilai itu terus kepadaku, apa salahku? Tolong aku Bu, nilai yang Ibu berikan tidak cukup membuat hati ini bahagia,” mohon Evendi sedih.
“Sudah-sudah, aku tidak suka melihat orang seperti kamu, minta saja nilai A di rumahmu nanti, saya lagi sibuk jangan kamu ganggu.” Jawab dosen Matematika itu tegas.
“Ya sudah bu kalau begitu, boleh saya pinjam parangnya sebentar?” pinta Evendi.
“Mau kamu bawa ke mana parang saya?” Gumam dosen itu.
Evendi hanya membisu, melihat ada pohon kelapa janda merana di halaman rumah Ibu Lasmini, mahasiswa itu langsung memanjatnya, dahan-dahan kelapa yang sudah kering ia tebas semua. Kelapa muda dan tua dipetik semua, pohon kelapa itu yang dulu tidak terawat, sekarang tidak lagi berantakan, semua buah kelapa selesai dikupasnya.
“Segala cara telah aku lakukan, tapi Ibu masih saja tidak berbaik hati, hanya ini yang terakhir bisa saya lakukan Bu,” mohon Evendi dengan jantung berdebar kencang. Melihat kenyataan yang baru dilakukan anak muridnya, dosen Serambi Mekkah itu seperti terkunci mulutnya, hanya senyum lebar yang menghiasi paras cantik itu.
“Aduh kamu Evendi, kamu sudah Ibu izinkan pulang, oya ini ada sedikit jajan dari saya untukmu Nak, tolong gunakan untuk mengisi bensinmu.
“Assalamualaikum, Bu,” Evendi memberi salam dengan hati deg-degan.
“Waalaikumsalam, kenapa kamu terlambat?” Tanya dosen matematika itu dengan geram.
“Maaf Bu tadi terjebak hujan,” sahut Evendi seraya melihat ke arah lantai.
“Oh ya sudah kamu pulang saja, ini sudah terlambat tidak bisa masuk lagi, kamu jangan seenaknya saja ya?” Tegas dosennya dengan nada tinggi.
“Kok Ibu gitu sih, Ibu kan bisa lihat keadaan saya yang sudah basah kuyup seperti ini, kenapa harus menyuruh saya pulang?” Tambah Evendi dengan nada loyo dan sedikit takut.
“Alam sedang tidak mendukung, tadinya di daerah saya hujan, mana mungkin saya datang tepat waktu,” tandas Evendi.
Dosen matematika yang juga bernama Lasmini itu tidak lagi menjawab, ia langsung memasang wajah muram, apalagi saat itu hanya ada tiga mahasiswa yang hadir. Evendi dengan wajah pucat dan penuh keringat bercampur air hujan tetap masuk mengikuti mata kuliah itu, Ibu Lasmini tetap memberi alpa di absen, wajah pucat dan lutut gemetar nampak dari tubuh Evendi, ia mulai tidak tenang saat duduk di kursi, matanya sesekali melihat ke luar jendela ruangan, entah apa yang dilihatnya.
Tiga bulan berlalu, dia dan kawan-kawan mengikuti ujian tertulis, kertas jawaban Evendi terisi dengan penuh, tidak ada halaman yang tersisa dari dua lembar kertas jawaban yang diberikan. Evendi mulai melangkah ke luar dari ruangan, wajahnya terlihat sangat ceria karena bisa menyelesaikan semua soal tanpa lagi mengingat insiden perdebatannya dulu. Selang satu minggu, akhirnya hasil ujian sudah bisa dinikmati.
Evendi sudah tidak sabar untuk melihatnya, wajahnya kaget dan matanya terbelalak saat melihat nilai ujian yang didapatinya adalah ‘D’ sudut ruangan yang kumuh dan tak terawat di samping jurusannya menjadi tempat renungan bagi Evendi. Paras putihnya penuh dengan linangan air mata, ia hanya tertunduk lesu diam seribu bahasa. Tidak ada kata-kata yang ke luar dari mulutnya, hatinya hancur berkeping-keping saat melihat mading yang berisikan nilai hasil usaha satu semesternya.
Kondisi fisiknya pucat, sedikit rasa penyesalan datang, kenapa ia memilih jurusan FKIP Ekonomi di Universitas Serambi Mekkah itu. Satu jam ia habiskan waktu untuk meratapi nasibnya, kemudian Evendi menghidupkan motornya dan kembali pulang ke rumah. Dia larut dalam keadaan, Evendi mencoba untuk melupakan semua apa yang baru saja terjadi. Tidak pernah patah arang, semangat untuk mencoba lagi selalu tumbuh dalam dirinya.
Semester selanjutnya ia kembali mendaftar mata pelajaran Ibu Lasmini itu, semester baru berjalan lancar, dia mulai bertegur sapa lagi dengan dosennya itu. Suasana sudah kondusif, saat ujian tiba, pulpen Evendi menari bebas di atas lembar jawaban yang diberikan, semua diisi penuh oleh Evendi tanpa tersisa sedikit pun. Besok Senin tanggal 15 Oktober 2014 nilai akan ditempelkan di mading (majalah dinding) jurusan.
Perasaan senang mengalahkan rasa dingin yang menusuk sampai ke dalam tulang, jam enam subuh Evendi bangun, merapikan tempat tidur sebentar, dan langsung menyalakan motornya. Sebelum matahari ke luar dari peraduannya dia bergegas menuju kampus, walaupun agak jauh dari tempat kediamannya. Dia begitu semangat untuk melihat hasil kerja kerasnya. Evendi sudah tiba di tempat tujuan.
Hatinya yang penuh tanda tanya dalam sekejap berubah, tidak ada senyum terlihat dari bibirnya, dalam sekejap wajahnya menjadi pucat pasi. Matanya melotot saat melihat namanya menerima nilai ‘D’ lagi. Tidak ingin berlama-lama, dia langsung menyalakan motornya untuk kembali pulang. Kasur yang empuk menjadi tempat ia mengadu, “kenapa nasibku seperti ini, akankah ada keberuntungan menghampiriku?” Keluh Evendi dengan matanya sedikit berkaca-kaca.
Tahun depan ia kembali mencoba untuk yang terakhir kali, siapa tahu nasib baik ada bersamanya. Masuk kuliah Evendi datang tepat waktu, patuh, taat, dan semua perintah dosen iya kerjakan, hampir tidak ada hari ia datang lebih cepat dari kawan-kawannya yang lain. Ternyata setelah selesai mengikuti mata kuliah itu lagi, nasib mujur masih belum bersahabat dengannya, dia kembali menerima nilai seperti pertama mengikuti pelajaran itu.
Tiga hari mengurung diri di rumah, Evendi seperti orang kehilangan istri, seakan ia tidak sanggup menerima kenyataan pahit itu. Segala cara telah dilakukan, namun semuanya tidak ada arti, tiga jeriken bensin iya habiskan hanya untuk mencari nilai ‘A,’ tapi entah mengapa dosennya itu tidak pernah mengerti.
Tiga malam Evendi tidur tidak nyenyak makan tak enak, ia harus memutar otak tujuh kali lipat untuk mencari solusi agar ia bisa mendapatkan nilai bagus. Ia sudah mulai senyum-senyum sendiri. Pagi buta itu Evendi menghidupkan tunggangannya, ia memacu kuda besinya 120 Kmj demi berangkat ke rumah dosen yang telah memberikan tiga kali nilai jelek kepadanya itu. Evendi sudah sampai di depan pintu rumah dosennya.
“Tok-tok-tok,” bunyi suara ketukan pintu.
“Iya, siapa di luar?” Tanya Ibu Lasmini.
“Oeh…. kamu Evendi, ngapain kamu ke sini, siapa suruh pagi-pagi ke rumah saya?” Lanjut dosennya itu.
“Aku heran Bu, kenapa Ibu terus menyiksa saya, tiga kali saya ikut mata kuliah Ibu, tapi kenapa Ibu memberikan nilai itu terus kepadaku, apa salahku? Tolong aku Bu, nilai yang Ibu berikan tidak cukup membuat hati ini bahagia,” mohon Evendi sedih.
“Sudah-sudah, aku tidak suka melihat orang seperti kamu, minta saja nilai A di rumahmu nanti, saya lagi sibuk jangan kamu ganggu.” Jawab dosen Matematika itu tegas.
“Ya sudah bu kalau begitu, boleh saya pinjam parangnya sebentar?” pinta Evendi.
“Mau kamu bawa ke mana parang saya?” Gumam dosen itu.
Evendi hanya membisu, melihat ada pohon kelapa janda merana di halaman rumah Ibu Lasmini, mahasiswa itu langsung memanjatnya, dahan-dahan kelapa yang sudah kering ia tebas semua. Kelapa muda dan tua dipetik semua, pohon kelapa itu yang dulu tidak terawat, sekarang tidak lagi berantakan, semua buah kelapa selesai dikupasnya.
“Segala cara telah aku lakukan, tapi Ibu masih saja tidak berbaik hati, hanya ini yang terakhir bisa saya lakukan Bu,” mohon Evendi dengan jantung berdebar kencang. Melihat kenyataan yang baru dilakukan anak muridnya, dosen Serambi Mekkah itu seperti terkunci mulutnya, hanya senyum lebar yang menghiasi paras cantik itu.
“Aduh kamu Evendi, kamu sudah Ibu izinkan pulang, oya ini ada sedikit jajan dari saya untukmu Nak, tolong gunakan untuk mengisi bensinmu.
mainan dari bapak
Dalam pekat gelap dan gemerlap cahaya rembulan yang membaur di malam itu. Di masa ketika tubuhku yang mungil masih muat berendam dalam sebuah ember. Sembari mencoba memejamkan mata, tetap jelas terlihat cahaya kerlip bintang disapu cahaya rembulan yang cukup menjadi penerang. Purnama hampir mengalahkan lampu bohlam 5 watt kekuningan di ruang tamu. Jarak antaranya dengan kamarku hanya dibatasi sehelai sekat kain batik truntum.
Konon kain truntum itu peninggalan almarhum kakek, yang dibeli ketika pernikahan bapak dan emak dulu. Memang terawat cukup lama, namun waktu membuatnya sedikit terkoyak. Ada bagian yang menerobos atap rumah, sehingga aku bisa memandangi pemandangan indah. Kadang cipratan air hujan menghiasi lubang itu. Ember-ember yang berada di kamar mandi, tempat biasa aku membersihkan diri, migrasi ke kamarku. Bapak tak banyak bicara, dia membiarkan lubang itu menganga di sana, berdalih bahwa dunia ini sangat sempit.
“Lihatlah dari sebuah celah, lihatlah lebih jeli! Kau akan melihat luasnya semesta ini. Tunjuk satu bintang itu dan terbanglah ke sana!” Bualan bapakku ketika aku merengek kedingininan meratapi bocornya atap. Bapakku pelit, baju baru di hari raya kadang hanya sebuah mimpi bagiku, sepeser pun uang jajan tak pernah dia berikan untukku, jangankan memberiku mainan, sekedar beberapa genting baru untuk atap rumah pun dia tak bergeming.
—
Aku masih tak mengerti bapak yang pendiam, sekian menit ini menjadi sosok yang tak berhenti berkata. Aku hanya mendengarkannya sebagai angin lalu. Hembusan napas bapakku ketika berbicara meluncurkan semerbak baunya. Sesekali aku menutup hidung, telinga aku biarkan terbuka karena sudah kebal dari bentakan suara, masuk telinga kanan ke luar telinga kiri.
“Bapak, aku lapar!”
Aku sudah bosan dengan lauk yang hanya sejumput garam itu, monoton tak ada perubahan rasa. Ketika Mak Ijah masuk jamban umum kampung, aku mengambil beberapa gorengannya yang diletakkan sementara di pos ronda. Mak Ijah yang kurus keriput berdagang keliling kampung, di atas kepalanya menenteng satu tampah besar yang terbuat dari anyaman bambu. Orang sini menyebut tampah itu “nyiru”. Diatas nyiru itu terserak rupa-rupa gorengan tertutup daun pisang lusuh yang sudah dipanaskan di atas “hawu”, kompor yang dibentuk dari tanah liat berbahan bakar kayu dan reranting kering.
Bapak mengrenyitkan dahi dan mengayunkan beberapa buah lidi, yang dia cabut dari sapu pekarangan. “Plak, Plak, Plak!” Tanganku memerah dan lebam, perih menjalar di kulit dengan cepat. Gerak refleksku menciutkan posisi lengan yang kesakitan, menempelkannya erat ke dada, menutupi wajah dengan isak tangis air mata yang ke luar. Seketika aku berlari ke belakang rumah, menembus kebun singkong milik pak RT yang di tengahnya terdapat pohon pala. Di situlah tempat persembunyianku, tempat merenung sembari bergelayut di sepertiga ujung puncaknya. Aku memanjat di sana, sesenggukan. Aku benci Bapak! Bapak pelit! Bapak jahat!
Semilir angin sepoi mengeringkan air mata, aku terlelap di dahan pohon pala. Beberapa jam dalam buaian, hujan rintik kini membangunkan. Aku perlahan menuruni licinnya batang dan reranting pohon pala, hampir terjatuh. Lalu berlari menembus cipratan air yang menetesi dedaunan. Di depan rumah, bapak berkacak pinggang dengan sorotan mata menyala. Aku tertunduk masuk perlahan ke dalam rumah, takut. Sorot matanya lebih menakutkan dari kilatan halilintar.
—
Di pagi hari ini ternyata bapak masih terlelap, di bagian belakang bajunya yang lusuh masih tampak sedikit cipratan lumpur. Di dapur tampak kepulan asap, terlihat emak sedang memasak, harumnya tercium nikmat. “Belut dari pasar yak Mak?” Emak hanya tersenyum, menggelengkan kepala.
“Belut ini hasil tangkapan Bapak semalam, khusus untukmu.”
Belut memang hidup alami di sekitar pesawahan, hanya beberapa meter dari rumah, namun kini sudah sedikit langka di kampung kami, penduduk terlalu ramai mengeksploitasinya. Dengan belut goreng, menu kali ini cukup mewah karena biasanya bapak hanya memberi makan kami nasi dan garam bersama beberapa lalap yang diambil dari pucuk daun singkong, kacang-kacangan, katuk, dan bayam yang tumbuh di sisi kanan rumah.
Di petakan tanah 2×4 meter itulah bapak menanamnya. Terkadang dari situ ada menu tambahan buah labu siam, sulurnya ikut merambat ke dinding rumah yang terbuat dari bilik anyaman bambu. Tak lama, hidangan emak sudah matang. Emak membawakan nasi dan lauk pauk itu dari dapur, menyusunnya dengan rapi di atas teras bambu depan rumah. Emak menyuruhku membangunkan bapak, tapi ternyata bapak sudah terbangun. Dia sedang mengganti bajunya dengan yang lebih baru. Baju itu masih tampak lusuh, tetapi tampil lebih bersih dan wangi dari yang sebelumnya.
Kami duduk di sekeliling hidangan, bapak mengangkat ke dua tangannya bersyukur mendoakan makanan yang tampak di hadapan kami, emak mengamini. “Selamat ulang tahun Riza, semoga menjadi anak yang saleh…” Emak mencium keningku namun bapak hanya menyantap hidangannya dengan khusyuk tanpa berkata sepatah kata pun seolah tak peduli.
Tak ku sangka pula, hari itu adalah satu minggu sebelum emak yang mencintaiku hanyut disapu banjir bandang ketika mencuci pakaian di kali. Kenangan tentang emak menjadi bagian gunung kesedihan karena beliau kini telah tiada. Tubuhku lunglai pilu, sungguh aku sangat merindukanmu emak. Kenapa tidak bapak saja yang hanyut! Pikiranku masih belum mampu menerima kenyataan menyakitkan ini.
—
“Aku ingin robot-robotan!”
Wayang-wayangan dari batang daun singkong terjerembab ke tanah. Kali ini aku marah, bapak tak pernah memberiku mainan sebagus teman-temanku. Di antara semuanya, mainanku selalu yang paling jelek. Bapak tidak pernah membelikan mainan dari toko, bahkan dari Mang Ajat tukang mainan keliling yang mangkal di sekolah setiap hari Jumat. Bapak menatap aku dengan tajam, diraihnya sapu lidi, dia acungnkan ke atas. Aku ketakutan, tapi kali ini kekesalanku sudah memuncak sehingga aku memberanikan diri memandang wajahnya yang tak memiliki ekspresi, datar. Semenjak kepergian emak, bapak memang selalu seperti itu.
“Jika kamu ingin robot-robotan, jadi ranking pertama dulu di kelasmu!”
Sapu lidi itu bapak lempar ke pojokan, serta merta dia mengendong aku di punggungnya. Lalu menaikan aku ke sepeda ontelnya dengan kayuhan cepat ke jalanan penuh turunan dan tanjakan yang berbatu. Dua puluh menit berlalu, setibanya di sekolah dia menurunkan tubuhku dan kembali mengayuh cepat, pergi bergegas meninggalkanku tanpa sepatah kata. Membiarkanku masuk ke kelas dengan binar mata menahan tangis berkaca-kaca.
—
Bapak tampak bergegas menuju sawah milik pak mandor. Sepuluh petak sawah mesti bapak urusi segera. Musim panen telah tiba, bapak biasanya mendapat jatah setengah dari hasil panen padi, kerja kerasnya selama 4 bulan mengurusi sawah. Hasil panen kali ini sepertinya cukup melimpah, tapi bapak masih saja pelit. Terbukti dari sarapan dengan menu yang tak berubah sejak dulu, bahkan dia hanya mengganti genting kamarku yang rusak dengan tambalan terbuat dari kantung plastik.
Padahal aku tahu hasil panen bapak selalu bertambah. Akhirnya sesuai janji, bapak membelikanku robot-robotan. Walau sebenarnya aku masih sedikit kecewa karena bapak membelikan mainan yang sudah ketinggalan zaman. Temanku memiliki robot-robotan yang bisa berjalan, menyala dan berbunyi sendiri. Sedangkan robot-robotan milikku hanya seonggok plastik yang tak dapat digerak-gerakkan.
Bapak memang pelit, padahal aku sudah menjadi yang terbaik di sekolah. Dia hanya berujar sembari mengajari aku membuat pola dan memotong papan bekas dengan gergaji, membentuknya seperti robot lainnya yang bisa digerakkan. “Jika kamu anggap mainannya jelek, coba saja kamu buat yang lebih bagus dari ini!”
Dia tahu, aku memang tak bisa membuat robot-robotan yang lebih bagus, bahkan yang setara pun dengan pemberiannya mungkin tak sanggup. Bapak memang selalu mengajariku menyelesaikan sesuatu. Terkadang dia begadang membaca buku pelajaran dalam remang hanya untuk mengajarkan pelajaran yang belum aku kuasai. Tapi dia tetap jahat, ketika aku malas mengerjakan PR, beberapa lidi telah siap menempel dengan kecepatan tinggi ke tangan dan kaki.
—
Tubuhku lemas, panas, dan sekujurnya seperti remuk. Lima hari aku terkulai di sini terkena penyakit tipus, lima hari pula setiap aku selesai memejamkan mata, di pandanganku bapak selalu berada di sana menjadi yang pertama terlihat. Dia bahkan tak segan menggendong tubuhku, seberat 61 kilogram ketika ingin ke jamban. Aku terbaring tak berdaya di dipan, bapak berada di sampingku menyuapi bubur dan telur rebus buatannya. Di usiaku yang remaja ini, bapak menjadi sebaik almarhum emak. Pun begitu masih sedikit jahat, karena selalu memaksaku menelan pahitnya obat dengan kasar, tanpa ampun.
—
Ini adalah hari yang bersejarah, aku tengah diwisuda. Tak tanggung-tanggung menjadi lulusan universitas ternama. Tapi bapak tak menghadiri prosesi bersejarah ini, tak seperti temanku yang lain yang ramai bersama keluarganya. Dalam momen ini aku hanya seorang diri walaupun menerima sepucuk ijazah dengan predikat “Suma Cum Laude” dan mewakili seluruh mahasiswa untuk memberi beberapa kata sambutan di podium. Riuh tepuk tangan mengakhiri pidatoku yang sempurna. Kebahagiaanku tak sempurna, karena bapak tak hadir bersama. Sudah belasan tahun berlalu. Bapak mungkin tak mencintaiku, tak bangga anaknya kini menjadi sarjana.
—
Seekor anjing cerdas buatan manusia berlari menuju sebuah pusara, anak-anak yang ikut orangtuanya berziarah di sana terpaut mengikuti gerakan anjing itu. Anjing itu adalah AIBO, hasil kecerdasan buatan dengan sensor canggih dan algoritma yang membuatnya seperti hidup. Robot itu ku miliki cuma-cuma karena merupakan bagian dari tim yang membuatnya. Menjadi salah satu lulusan Osaka University memudahkanku untuk bergabung bersama perusahaan besar di Jepang.
Aku tak menyangka bapak meninggal dunia. Padahal beberapa bulan yang lalu, aku dan bapak baru saja merenovasi rumah, bagian genting kamarku kami buat transparan. Di malam yang cerah dengan bintang dan purnama bapak menunjuk sebuah bintang, lalu mengarahkan telunjuknya ke dadaku. Tak ku sangka itulah senyuman terakhir bersamanya.
“Lihatlah dari sebuah celah, lihatlah lebih jeli! Kau akan melihat luasnya semesta ini. Tunjuk satu bintang itu dan terbanglah ke sana!” Tentu itu hanya kiasan, kini aku mengerti bahwa akulah bintang itu.
Bapak adalah orang paling dermawan, karena mengumpulkan seluruh hartanya selama ini hanya untuk melihat kebanggaannya dapat menyelesaikan studi di tempat yang tinggi. Bayangkan seorang buruh tani mampu menerbangkan anaknya di universitas ternama, sampai melanglang ke luar negeri.
Bapak, lihatlah! Berkat dirimu aku berhasil membuat mainan yang lebih baik dari mainanku dulu. Mainan darimu yang masih terpajang dengan baik di lemari, tersimpan tinggi berjajar dengan puluhan tropi. Selama ini bapak ternyata mencintaiku tanpa cela, meski tak ku sadari, meski cinta itu tak terucap, tetapi nyata mendekap. Terima kasih bapak, teriring doa untukmu, semoga diampuni dari dosa, bahagia ditempatkan Allah di surga.
Konon kain truntum itu peninggalan almarhum kakek, yang dibeli ketika pernikahan bapak dan emak dulu. Memang terawat cukup lama, namun waktu membuatnya sedikit terkoyak. Ada bagian yang menerobos atap rumah, sehingga aku bisa memandangi pemandangan indah. Kadang cipratan air hujan menghiasi lubang itu. Ember-ember yang berada di kamar mandi, tempat biasa aku membersihkan diri, migrasi ke kamarku. Bapak tak banyak bicara, dia membiarkan lubang itu menganga di sana, berdalih bahwa dunia ini sangat sempit.
“Lihatlah dari sebuah celah, lihatlah lebih jeli! Kau akan melihat luasnya semesta ini. Tunjuk satu bintang itu dan terbanglah ke sana!” Bualan bapakku ketika aku merengek kedingininan meratapi bocornya atap. Bapakku pelit, baju baru di hari raya kadang hanya sebuah mimpi bagiku, sepeser pun uang jajan tak pernah dia berikan untukku, jangankan memberiku mainan, sekedar beberapa genting baru untuk atap rumah pun dia tak bergeming.
—
Aku masih tak mengerti bapak yang pendiam, sekian menit ini menjadi sosok yang tak berhenti berkata. Aku hanya mendengarkannya sebagai angin lalu. Hembusan napas bapakku ketika berbicara meluncurkan semerbak baunya. Sesekali aku menutup hidung, telinga aku biarkan terbuka karena sudah kebal dari bentakan suara, masuk telinga kanan ke luar telinga kiri.
“Bapak, aku lapar!”
Aku sudah bosan dengan lauk yang hanya sejumput garam itu, monoton tak ada perubahan rasa. Ketika Mak Ijah masuk jamban umum kampung, aku mengambil beberapa gorengannya yang diletakkan sementara di pos ronda. Mak Ijah yang kurus keriput berdagang keliling kampung, di atas kepalanya menenteng satu tampah besar yang terbuat dari anyaman bambu. Orang sini menyebut tampah itu “nyiru”. Diatas nyiru itu terserak rupa-rupa gorengan tertutup daun pisang lusuh yang sudah dipanaskan di atas “hawu”, kompor yang dibentuk dari tanah liat berbahan bakar kayu dan reranting kering.
Bapak mengrenyitkan dahi dan mengayunkan beberapa buah lidi, yang dia cabut dari sapu pekarangan. “Plak, Plak, Plak!” Tanganku memerah dan lebam, perih menjalar di kulit dengan cepat. Gerak refleksku menciutkan posisi lengan yang kesakitan, menempelkannya erat ke dada, menutupi wajah dengan isak tangis air mata yang ke luar. Seketika aku berlari ke belakang rumah, menembus kebun singkong milik pak RT yang di tengahnya terdapat pohon pala. Di situlah tempat persembunyianku, tempat merenung sembari bergelayut di sepertiga ujung puncaknya. Aku memanjat di sana, sesenggukan. Aku benci Bapak! Bapak pelit! Bapak jahat!
Semilir angin sepoi mengeringkan air mata, aku terlelap di dahan pohon pala. Beberapa jam dalam buaian, hujan rintik kini membangunkan. Aku perlahan menuruni licinnya batang dan reranting pohon pala, hampir terjatuh. Lalu berlari menembus cipratan air yang menetesi dedaunan. Di depan rumah, bapak berkacak pinggang dengan sorotan mata menyala. Aku tertunduk masuk perlahan ke dalam rumah, takut. Sorot matanya lebih menakutkan dari kilatan halilintar.
—
Di pagi hari ini ternyata bapak masih terlelap, di bagian belakang bajunya yang lusuh masih tampak sedikit cipratan lumpur. Di dapur tampak kepulan asap, terlihat emak sedang memasak, harumnya tercium nikmat. “Belut dari pasar yak Mak?” Emak hanya tersenyum, menggelengkan kepala.
“Belut ini hasil tangkapan Bapak semalam, khusus untukmu.”
Belut memang hidup alami di sekitar pesawahan, hanya beberapa meter dari rumah, namun kini sudah sedikit langka di kampung kami, penduduk terlalu ramai mengeksploitasinya. Dengan belut goreng, menu kali ini cukup mewah karena biasanya bapak hanya memberi makan kami nasi dan garam bersama beberapa lalap yang diambil dari pucuk daun singkong, kacang-kacangan, katuk, dan bayam yang tumbuh di sisi kanan rumah.
Di petakan tanah 2×4 meter itulah bapak menanamnya. Terkadang dari situ ada menu tambahan buah labu siam, sulurnya ikut merambat ke dinding rumah yang terbuat dari bilik anyaman bambu. Tak lama, hidangan emak sudah matang. Emak membawakan nasi dan lauk pauk itu dari dapur, menyusunnya dengan rapi di atas teras bambu depan rumah. Emak menyuruhku membangunkan bapak, tapi ternyata bapak sudah terbangun. Dia sedang mengganti bajunya dengan yang lebih baru. Baju itu masih tampak lusuh, tetapi tampil lebih bersih dan wangi dari yang sebelumnya.
Kami duduk di sekeliling hidangan, bapak mengangkat ke dua tangannya bersyukur mendoakan makanan yang tampak di hadapan kami, emak mengamini. “Selamat ulang tahun Riza, semoga menjadi anak yang saleh…” Emak mencium keningku namun bapak hanya menyantap hidangannya dengan khusyuk tanpa berkata sepatah kata pun seolah tak peduli.
Tak ku sangka pula, hari itu adalah satu minggu sebelum emak yang mencintaiku hanyut disapu banjir bandang ketika mencuci pakaian di kali. Kenangan tentang emak menjadi bagian gunung kesedihan karena beliau kini telah tiada. Tubuhku lunglai pilu, sungguh aku sangat merindukanmu emak. Kenapa tidak bapak saja yang hanyut! Pikiranku masih belum mampu menerima kenyataan menyakitkan ini.
—
“Aku ingin robot-robotan!”
Wayang-wayangan dari batang daun singkong terjerembab ke tanah. Kali ini aku marah, bapak tak pernah memberiku mainan sebagus teman-temanku. Di antara semuanya, mainanku selalu yang paling jelek. Bapak tidak pernah membelikan mainan dari toko, bahkan dari Mang Ajat tukang mainan keliling yang mangkal di sekolah setiap hari Jumat. Bapak menatap aku dengan tajam, diraihnya sapu lidi, dia acungnkan ke atas. Aku ketakutan, tapi kali ini kekesalanku sudah memuncak sehingga aku memberanikan diri memandang wajahnya yang tak memiliki ekspresi, datar. Semenjak kepergian emak, bapak memang selalu seperti itu.
“Jika kamu ingin robot-robotan, jadi ranking pertama dulu di kelasmu!”
Sapu lidi itu bapak lempar ke pojokan, serta merta dia mengendong aku di punggungnya. Lalu menaikan aku ke sepeda ontelnya dengan kayuhan cepat ke jalanan penuh turunan dan tanjakan yang berbatu. Dua puluh menit berlalu, setibanya di sekolah dia menurunkan tubuhku dan kembali mengayuh cepat, pergi bergegas meninggalkanku tanpa sepatah kata. Membiarkanku masuk ke kelas dengan binar mata menahan tangis berkaca-kaca.
—
Bapak tampak bergegas menuju sawah milik pak mandor. Sepuluh petak sawah mesti bapak urusi segera. Musim panen telah tiba, bapak biasanya mendapat jatah setengah dari hasil panen padi, kerja kerasnya selama 4 bulan mengurusi sawah. Hasil panen kali ini sepertinya cukup melimpah, tapi bapak masih saja pelit. Terbukti dari sarapan dengan menu yang tak berubah sejak dulu, bahkan dia hanya mengganti genting kamarku yang rusak dengan tambalan terbuat dari kantung plastik.
Padahal aku tahu hasil panen bapak selalu bertambah. Akhirnya sesuai janji, bapak membelikanku robot-robotan. Walau sebenarnya aku masih sedikit kecewa karena bapak membelikan mainan yang sudah ketinggalan zaman. Temanku memiliki robot-robotan yang bisa berjalan, menyala dan berbunyi sendiri. Sedangkan robot-robotan milikku hanya seonggok plastik yang tak dapat digerak-gerakkan.
Bapak memang pelit, padahal aku sudah menjadi yang terbaik di sekolah. Dia hanya berujar sembari mengajari aku membuat pola dan memotong papan bekas dengan gergaji, membentuknya seperti robot lainnya yang bisa digerakkan. “Jika kamu anggap mainannya jelek, coba saja kamu buat yang lebih bagus dari ini!”
Dia tahu, aku memang tak bisa membuat robot-robotan yang lebih bagus, bahkan yang setara pun dengan pemberiannya mungkin tak sanggup. Bapak memang selalu mengajariku menyelesaikan sesuatu. Terkadang dia begadang membaca buku pelajaran dalam remang hanya untuk mengajarkan pelajaran yang belum aku kuasai. Tapi dia tetap jahat, ketika aku malas mengerjakan PR, beberapa lidi telah siap menempel dengan kecepatan tinggi ke tangan dan kaki.
—
Tubuhku lemas, panas, dan sekujurnya seperti remuk. Lima hari aku terkulai di sini terkena penyakit tipus, lima hari pula setiap aku selesai memejamkan mata, di pandanganku bapak selalu berada di sana menjadi yang pertama terlihat. Dia bahkan tak segan menggendong tubuhku, seberat 61 kilogram ketika ingin ke jamban. Aku terbaring tak berdaya di dipan, bapak berada di sampingku menyuapi bubur dan telur rebus buatannya. Di usiaku yang remaja ini, bapak menjadi sebaik almarhum emak. Pun begitu masih sedikit jahat, karena selalu memaksaku menelan pahitnya obat dengan kasar, tanpa ampun.
—
Ini adalah hari yang bersejarah, aku tengah diwisuda. Tak tanggung-tanggung menjadi lulusan universitas ternama. Tapi bapak tak menghadiri prosesi bersejarah ini, tak seperti temanku yang lain yang ramai bersama keluarganya. Dalam momen ini aku hanya seorang diri walaupun menerima sepucuk ijazah dengan predikat “Suma Cum Laude” dan mewakili seluruh mahasiswa untuk memberi beberapa kata sambutan di podium. Riuh tepuk tangan mengakhiri pidatoku yang sempurna. Kebahagiaanku tak sempurna, karena bapak tak hadir bersama. Sudah belasan tahun berlalu. Bapak mungkin tak mencintaiku, tak bangga anaknya kini menjadi sarjana.
—
Seekor anjing cerdas buatan manusia berlari menuju sebuah pusara, anak-anak yang ikut orangtuanya berziarah di sana terpaut mengikuti gerakan anjing itu. Anjing itu adalah AIBO, hasil kecerdasan buatan dengan sensor canggih dan algoritma yang membuatnya seperti hidup. Robot itu ku miliki cuma-cuma karena merupakan bagian dari tim yang membuatnya. Menjadi salah satu lulusan Osaka University memudahkanku untuk bergabung bersama perusahaan besar di Jepang.
Aku tak menyangka bapak meninggal dunia. Padahal beberapa bulan yang lalu, aku dan bapak baru saja merenovasi rumah, bagian genting kamarku kami buat transparan. Di malam yang cerah dengan bintang dan purnama bapak menunjuk sebuah bintang, lalu mengarahkan telunjuknya ke dadaku. Tak ku sangka itulah senyuman terakhir bersamanya.
“Lihatlah dari sebuah celah, lihatlah lebih jeli! Kau akan melihat luasnya semesta ini. Tunjuk satu bintang itu dan terbanglah ke sana!” Tentu itu hanya kiasan, kini aku mengerti bahwa akulah bintang itu.
Bapak adalah orang paling dermawan, karena mengumpulkan seluruh hartanya selama ini hanya untuk melihat kebanggaannya dapat menyelesaikan studi di tempat yang tinggi. Bayangkan seorang buruh tani mampu menerbangkan anaknya di universitas ternama, sampai melanglang ke luar negeri.
Bapak, lihatlah! Berkat dirimu aku berhasil membuat mainan yang lebih baik dari mainanku dulu. Mainan darimu yang masih terpajang dengan baik di lemari, tersimpan tinggi berjajar dengan puluhan tropi. Selama ini bapak ternyata mencintaiku tanpa cela, meski tak ku sadari, meski cinta itu tak terucap, tetapi nyata mendekap. Terima kasih bapak, teriring doa untukmu, semoga diampuni dari dosa, bahagia ditempatkan Allah di surga.
mainan dan kursi
Aku melihat tempat belajar anak-anak usia dini di Kampung Cileuksa Desa Bandung sangatlah prihatin. Anak-anak belajar di kantor balai desa secara lesehan. Tidak mempunyai meja dan kursi. Mereka melaksanakan kegiatan belajar mengajar senin sampai jumat. Tenaga pengajarnya diperkirakan sudah cukup umur, sekitar 59 tahun. Bu Eni namanya. Meskipun begitu, Bu Eni masih tetap sehat dan kuat untuk melaksanakan tugasnya demi mencerdaskan anak bangsa.
Bu Eni sering mengeluh kepadaku, lantaran anak-anak belajar kesulitan tidak memiliki meja dan kursi. Aku selaku penggerak kegiatan belajar mengajar di sini tidak bisa berbuat apa-apa. Karena aku sendiri memang tidak memiliki kekayaan yang cukup untuk menyumbang kegiatan belajar mereka. “Saya butuh meja dan kursi Pak,” begitu ungkapan hati Bu Eni yang selalu terngiang di telingaku.
Bu Eni satu-satunya kader Posyandu di Desa Bandung, yang cukup aktif dan cekatan dalam menjalankan tugas di lembaga yang diberikan nama RA Ad-Dzikro Bandung ini. Sebelumnya dia kader yang dipercaya juga di dalam mengurus administrasi Desa Bandung. Ya, itu tadi, beliau sangat rapi kalau bekerja membuat laporan. Makanya, tenaga selalu dipake oleh Wahyu, keponakannya yang juga selaku carik untuk mendampingi ayahnya Wahyu menjadi Kepala Desa Bandung.
“Nanti kalau dapat bantuan Bu.” Hanya itu yang bisa aku sampaikan ke Bu Eni untuk menenangkan perasaannya yang sangat membutuhkan meja dan kursi untuk anak-anak.
Sejak itu, aku selalu teringat kata-kata Bu Eni soal meja dan kursi yang dibutuhkannya. Aku berpikir, kalau usahaku dalam percetakan media ini ada keuntungannya akan aku sisihkan untuk membeli meja dan kursi. Tapi, sayangnya usahaku belum beranjak pasti keberuntungannya. Seringkali uang tagihan di beberapa instansi mandeg karena tidak bisa dicairkan secepatnya. Itu pun kalau dibayarkan cukup dicicil saja. Ini yang menjadi masalahnya bagi aku tidak dapat memenuhi harapan Bu Eni untuk membeli meja dan kursi.
Suatu ketika, hal itu aku sampaikan juga dengan Wahyu, tidak lain selaku Kepala Sekolahnya di situ. Bahwa aku katakan mereka anak-anak asuhnya membutuhkan tempat untuk belajar yang nyaman. “Kita harus membenahi pendidikan anak usia dini ini. Tempatnya dan sarana belajarnya. Kita juga butuh meja dan kursi untuk kebutuhan proses belajar mereka,” Permintaanku yang disampaikan kepada Wahyu -yang juga selaku Sekretaris Desa di Desa Bandung itu- benar benar tengah memikirkan hal yang sama denganku. Yaitu tengah dipikirkan meja dan kursi tahun ini harus ada. Katanya.
Harapannya, tentu saja mencari donatur atau menunggu bantuan dari pemerintah. Sejak tahun 2008 sampai sekarang anak anak belajar tidak memiliki meja dan kursi, maka tahun ini diharapkan dapat terpenuhi sarana belajarnya. Mumpung, Wahyu mempunyai pemikiran yang sama, aku mencoba mencari jalan keluarnya untuk mencari donatur tapi ternyata tidak sepenuhnya para donatur mampu memberikan lebih. Karena hanya sekedar saja. Itu pun tidak dapat membeli meja dan kursi sejumlah anak 20 orang. “saya bantu untuk membeli meja saja ya,” ujar salah seorang yang ikut peduli terhadap kegiatan kami.
Rupanya janji donatur itu tak kunjung tiba juga. Mereka hanya membual saja karena gengsi kalau menolak tawaranku menjadi bapak asuh mereka. Waktu itu aku berusaha menghubungi bapak dewan -khusus daerah pemilihan di daerah tersebut. Sampai sekarang, janji itu hanya sebuah nyanyian belaka di beberapa tempat di mana mereka melakukan kunjungan ke daerah pemilihannya. Nama kami hanya dijual-jual oleh mereka terkait kebutuhan sarana pendidikan yang kurang memadai. Hasilnya nol. Mereka omdo. Omong doang gede.
Ya aku tidak percaya sepenuhnya. Tapi aku merasa berdosa kalau tidak berbuat sesuatu untuk mereka. Anak anak bangsa yang membutuhkan sarana belajar. Demi pendidikan mencerdaskan mereka. Sangat membutuhkan sarana belajar. Aku sekali lagi terngiang terus permintaan Bu Eni. “Kami minta meja dan kursi Pak.”
Langkahku yang pertama, adalah mencari tempat pembuatan meja dan kursi di Panglong. Beberapa tempat panglong sudah aku hubungi untuk kesesuaian harga dan mengajak mereka untuk berpartisipasi membantu kebutuhan anak belajar. Ternyata mereka hitungan bisnis bukan hitungan berbuat amal jariyah. Sangat jarang aku temui orang-orang yang mau menginvestasikan jiwa raganya untuk membantu orang-orang yang tidak mampu. Seringkali aku harus menerima perasaan tidak enak kalau sudah menyampaikan hal-hal yang baik buat mereka. Minimal mereka memberikan harga termurah dari yang lainnya.
Suatu hari aku ditelepon oleh Wahyu, Kepala sekolah Ad Dzikro Bandung ini untuk memesan meja dan kursi untuk anak-anak. Rasanya mendengar kabar itu aku teramat senang. Ternyata usaha aku yang sering gagal melobi berpengaruh juga terhadap Wahyu yang juga aparat desa setempat.
“Saya merasa malu, anak-anak belajarnya masih lesehan d balai desa kami. Apalagi kekurangan sarana belajar kami menjadi bahan laporan dewan yang melakukan reses ke desa,”
Itu ungkapan Wahyu kepadaku. Tentu saja niat baik mewujudkan meja dan kursi tentu aku sangat membahagiakan. Akan tetapi laporan dewan tersebut yang membuatku tidak enak rasanya. Kok, mereka -dewan- tidak bisa berbuat apa-apa. Berbeda ketika belum jadi dewan -sering suara kami menjadi perhitungan untuk kemenangannya. Ini hal yang sangat pelik jika diperhitungkan.
“Sudahlah jangan dipercaya omongan dewan itu. Sulit pembuktiannya. Terpenting, nanti saya minta tolong sama Bapak, untuk memesan meja dan kursi di panglong yang sudah Bapak survei itu,” ujar Wahyu memberi keleluasan mencari panglong yang dapat memenuhi kebutuhan meja dan kursi anak dengan biaya minim.
“Ya. Ada yang sudah saya temui Pak. Harganya seratus lima puluh ribu rupiah di Cipacing. Harga itu satu unit meja dan dua kursi. Murah kan?” Kataku meyakinkan Wahyu. Yang disambut oke oleh Wahyu.
Sore itu aku langsung menuju rumah Wahyu di Batulingga untuk mengambil uang meja dan kursi tadi. Wahyu memesan 10 meja, 20 kursi dan dua meja guru. Uang dua juta lima ratus rupiah aku peroleh dari Wahyu. Bahkan, sore itu juga aku ke panglong Pak Iman di Cipacing. Sesuai yang aku sampaikan harganya kepada Wahyu, sama persis uang yang diminta Pak Iman pemilik panglong. Dua juta lima ratus ribu rupiah. Ya. Sebesar itu.
“Kok segitu Pak,” kata pemilik panglong. Maksudnya, tidak dilebihkan harganya. Kalau ada lebihnya dia akan memberikan komisi kepadaku.
“Tidak Pak, sesuai apa yang ditentukan harga dari Bapak,” kataku kepada pemilik panglong tersebut.
“Wah tidak ada lebihnya. Nanti lain kali kalau ada orderan tolong ada lebihnya buat Bapak,” katanya lagi.
Tapi rasanya buat aku hal itu belum terpikirkan sama sekali. Karena aku berharap Wahyu dengan harga murah dapat memenuhi kebutuhan sarana belajar anak-anak. Aku hanya berpikir bagaimana dengan harga murah bisa terwujud. Sudah itu saja tidak memikirkan kelebihannya atau keuntungannya.
“Saya tidak mencari untung Pak”
“Oh, ya sudah. Nih..” si pemilik panglong itu malah memberikan uang seratus ribu rupiah. Menjelang maghrib aku terima uang itu, tidak langsung aku terima. Uang itu justru aku berikan sama Pak ustadz H Arip. Karena dia berjasa membawaku ke panglong. Aku memang tidak memiliki akses transportasi untuk mendatangi panglong tersebut. Makanya aku memanfaatkan kendaraan roda dua milik pak Haji Arif.
Aku pikir, dari transaksi pembuatan meja dan kursi sudah sepakat waktunya sampai 6 Desember selesai. Berarti lima belas hari lamanya dari pemesanan pertengahan Nopember lalu. Hal itu juga sudah aku sampaikan kepada Wahyu bahwa tanggal 6 Desember selesainya. “Sekarang sudah Tahun baru lagi. Kok, meja dan kursi belum juga jadi sih,” kata Wahyu. Tiba-tiba suara telepon dari Wahyu menghentakkanku untuk mengingatkan batas waktu pemesanan meja dan kursi tangal 6 Desember sudah selesai.
Aku mencoba menghubungi panglong. “Pak, bagaimana pesanan meja dan kursi, sudah rampung belum?”
“Tinggal kursi yang sudah, meja belum dikasih daunnya,” ujar Iman si pemilik panglong tersebut.
“Kapan selesainya?” Kataku via handphone selular.
“Ya minggu-minggu ini,”
“Jangan lama-lama Pak. Saya sudah dihubungi lagi sama yang punya. Tolong Bapak selesaikan secepatnya.” ujarku, kesel. “Iya Pak. Iya Pak!” sahut si pemilik panglong lagi.
Seminggu yang dijanjikan selesai, waktunya sudah berlalu, tapi pengerjaannya terlambat lagi. aku penasaran menghubungi langsung ke panglongnya di Cipacing. Ternyata kursi dan meja belum diapa-apakan. Belum ada tanda-tanda pengerjaan yang cepat diselssaikan, malah mengerjakan yang lain. Alasannya nggak ada yang mengerjakannya.
“Pak, aku bayar lunas maksudnya supaya tidak seperti begini. Lambat! ” suara aku meninggi.
Si pemilik panglong terus saja mengangguk-angguk tanda menerima kesalahannya. Tapi aku sudah tidak sabar dengan perlakuannya yang menjengkel kan perasaan.
“Saya tidak enak hati sama yang pesannya. Nanyain terus. Nanti ada prasangka yang bukan-bukan ke saya. Bagaimana ini, bisa dikerjakan enggak?” aku marah. Kesal di depannya yang tampak malah ngotak-ngatik hp bukannya bekerja malah orang lain yang bekerja. Itu pun bukan kerjaan yang aku pesan.
Aku berpikir negatif. Kalau sampai aku terjadi apa-apa sama Pak Wahyu, karena kecewa atas sikapku, maka yang aku tekan si pemilik panglong ini. Aku akan bakar panglongnya dan tidak bisa kenal kompromi lagi. Marahku sudah memuncak ketika aku berkali-kali datang ke panglong ternyata belum juga dikerjakan. Apa salahku, uang sudah lunas aku berikan. Apalagi yang kurang. Sungguh tidak profesional. Aku tunggu saja janjinya minggu ini selesai. Bukan apa-apa. Pesanan ini justru menggunakan uang Negara dari bantuan kepada lembaga sejumlah siswa berupa bantuan operasional sekolah. Waktunya harus selesai bulan ini juga
Bu Eni sering mengeluh kepadaku, lantaran anak-anak belajar kesulitan tidak memiliki meja dan kursi. Aku selaku penggerak kegiatan belajar mengajar di sini tidak bisa berbuat apa-apa. Karena aku sendiri memang tidak memiliki kekayaan yang cukup untuk menyumbang kegiatan belajar mereka. “Saya butuh meja dan kursi Pak,” begitu ungkapan hati Bu Eni yang selalu terngiang di telingaku.
Bu Eni satu-satunya kader Posyandu di Desa Bandung, yang cukup aktif dan cekatan dalam menjalankan tugas di lembaga yang diberikan nama RA Ad-Dzikro Bandung ini. Sebelumnya dia kader yang dipercaya juga di dalam mengurus administrasi Desa Bandung. Ya, itu tadi, beliau sangat rapi kalau bekerja membuat laporan. Makanya, tenaga selalu dipake oleh Wahyu, keponakannya yang juga selaku carik untuk mendampingi ayahnya Wahyu menjadi Kepala Desa Bandung.
“Nanti kalau dapat bantuan Bu.” Hanya itu yang bisa aku sampaikan ke Bu Eni untuk menenangkan perasaannya yang sangat membutuhkan meja dan kursi untuk anak-anak.
Sejak itu, aku selalu teringat kata-kata Bu Eni soal meja dan kursi yang dibutuhkannya. Aku berpikir, kalau usahaku dalam percetakan media ini ada keuntungannya akan aku sisihkan untuk membeli meja dan kursi. Tapi, sayangnya usahaku belum beranjak pasti keberuntungannya. Seringkali uang tagihan di beberapa instansi mandeg karena tidak bisa dicairkan secepatnya. Itu pun kalau dibayarkan cukup dicicil saja. Ini yang menjadi masalahnya bagi aku tidak dapat memenuhi harapan Bu Eni untuk membeli meja dan kursi.
Suatu ketika, hal itu aku sampaikan juga dengan Wahyu, tidak lain selaku Kepala Sekolahnya di situ. Bahwa aku katakan mereka anak-anak asuhnya membutuhkan tempat untuk belajar yang nyaman. “Kita harus membenahi pendidikan anak usia dini ini. Tempatnya dan sarana belajarnya. Kita juga butuh meja dan kursi untuk kebutuhan proses belajar mereka,” Permintaanku yang disampaikan kepada Wahyu -yang juga selaku Sekretaris Desa di Desa Bandung itu- benar benar tengah memikirkan hal yang sama denganku. Yaitu tengah dipikirkan meja dan kursi tahun ini harus ada. Katanya.
Harapannya, tentu saja mencari donatur atau menunggu bantuan dari pemerintah. Sejak tahun 2008 sampai sekarang anak anak belajar tidak memiliki meja dan kursi, maka tahun ini diharapkan dapat terpenuhi sarana belajarnya. Mumpung, Wahyu mempunyai pemikiran yang sama, aku mencoba mencari jalan keluarnya untuk mencari donatur tapi ternyata tidak sepenuhnya para donatur mampu memberikan lebih. Karena hanya sekedar saja. Itu pun tidak dapat membeli meja dan kursi sejumlah anak 20 orang. “saya bantu untuk membeli meja saja ya,” ujar salah seorang yang ikut peduli terhadap kegiatan kami.
Rupanya janji donatur itu tak kunjung tiba juga. Mereka hanya membual saja karena gengsi kalau menolak tawaranku menjadi bapak asuh mereka. Waktu itu aku berusaha menghubungi bapak dewan -khusus daerah pemilihan di daerah tersebut. Sampai sekarang, janji itu hanya sebuah nyanyian belaka di beberapa tempat di mana mereka melakukan kunjungan ke daerah pemilihannya. Nama kami hanya dijual-jual oleh mereka terkait kebutuhan sarana pendidikan yang kurang memadai. Hasilnya nol. Mereka omdo. Omong doang gede.
Ya aku tidak percaya sepenuhnya. Tapi aku merasa berdosa kalau tidak berbuat sesuatu untuk mereka. Anak anak bangsa yang membutuhkan sarana belajar. Demi pendidikan mencerdaskan mereka. Sangat membutuhkan sarana belajar. Aku sekali lagi terngiang terus permintaan Bu Eni. “Kami minta meja dan kursi Pak.”
Langkahku yang pertama, adalah mencari tempat pembuatan meja dan kursi di Panglong. Beberapa tempat panglong sudah aku hubungi untuk kesesuaian harga dan mengajak mereka untuk berpartisipasi membantu kebutuhan anak belajar. Ternyata mereka hitungan bisnis bukan hitungan berbuat amal jariyah. Sangat jarang aku temui orang-orang yang mau menginvestasikan jiwa raganya untuk membantu orang-orang yang tidak mampu. Seringkali aku harus menerima perasaan tidak enak kalau sudah menyampaikan hal-hal yang baik buat mereka. Minimal mereka memberikan harga termurah dari yang lainnya.
Suatu hari aku ditelepon oleh Wahyu, Kepala sekolah Ad Dzikro Bandung ini untuk memesan meja dan kursi untuk anak-anak. Rasanya mendengar kabar itu aku teramat senang. Ternyata usaha aku yang sering gagal melobi berpengaruh juga terhadap Wahyu yang juga aparat desa setempat.
“Saya merasa malu, anak-anak belajarnya masih lesehan d balai desa kami. Apalagi kekurangan sarana belajar kami menjadi bahan laporan dewan yang melakukan reses ke desa,”
Itu ungkapan Wahyu kepadaku. Tentu saja niat baik mewujudkan meja dan kursi tentu aku sangat membahagiakan. Akan tetapi laporan dewan tersebut yang membuatku tidak enak rasanya. Kok, mereka -dewan- tidak bisa berbuat apa-apa. Berbeda ketika belum jadi dewan -sering suara kami menjadi perhitungan untuk kemenangannya. Ini hal yang sangat pelik jika diperhitungkan.
“Sudahlah jangan dipercaya omongan dewan itu. Sulit pembuktiannya. Terpenting, nanti saya minta tolong sama Bapak, untuk memesan meja dan kursi di panglong yang sudah Bapak survei itu,” ujar Wahyu memberi keleluasan mencari panglong yang dapat memenuhi kebutuhan meja dan kursi anak dengan biaya minim.
“Ya. Ada yang sudah saya temui Pak. Harganya seratus lima puluh ribu rupiah di Cipacing. Harga itu satu unit meja dan dua kursi. Murah kan?” Kataku meyakinkan Wahyu. Yang disambut oke oleh Wahyu.
Sore itu aku langsung menuju rumah Wahyu di Batulingga untuk mengambil uang meja dan kursi tadi. Wahyu memesan 10 meja, 20 kursi dan dua meja guru. Uang dua juta lima ratus rupiah aku peroleh dari Wahyu. Bahkan, sore itu juga aku ke panglong Pak Iman di Cipacing. Sesuai yang aku sampaikan harganya kepada Wahyu, sama persis uang yang diminta Pak Iman pemilik panglong. Dua juta lima ratus ribu rupiah. Ya. Sebesar itu.
“Kok segitu Pak,” kata pemilik panglong. Maksudnya, tidak dilebihkan harganya. Kalau ada lebihnya dia akan memberikan komisi kepadaku.
“Tidak Pak, sesuai apa yang ditentukan harga dari Bapak,” kataku kepada pemilik panglong tersebut.
“Wah tidak ada lebihnya. Nanti lain kali kalau ada orderan tolong ada lebihnya buat Bapak,” katanya lagi.
Tapi rasanya buat aku hal itu belum terpikirkan sama sekali. Karena aku berharap Wahyu dengan harga murah dapat memenuhi kebutuhan sarana belajar anak-anak. Aku hanya berpikir bagaimana dengan harga murah bisa terwujud. Sudah itu saja tidak memikirkan kelebihannya atau keuntungannya.
“Saya tidak mencari untung Pak”
“Oh, ya sudah. Nih..” si pemilik panglong itu malah memberikan uang seratus ribu rupiah. Menjelang maghrib aku terima uang itu, tidak langsung aku terima. Uang itu justru aku berikan sama Pak ustadz H Arip. Karena dia berjasa membawaku ke panglong. Aku memang tidak memiliki akses transportasi untuk mendatangi panglong tersebut. Makanya aku memanfaatkan kendaraan roda dua milik pak Haji Arif.
Aku pikir, dari transaksi pembuatan meja dan kursi sudah sepakat waktunya sampai 6 Desember selesai. Berarti lima belas hari lamanya dari pemesanan pertengahan Nopember lalu. Hal itu juga sudah aku sampaikan kepada Wahyu bahwa tanggal 6 Desember selesainya. “Sekarang sudah Tahun baru lagi. Kok, meja dan kursi belum juga jadi sih,” kata Wahyu. Tiba-tiba suara telepon dari Wahyu menghentakkanku untuk mengingatkan batas waktu pemesanan meja dan kursi tangal 6 Desember sudah selesai.
Aku mencoba menghubungi panglong. “Pak, bagaimana pesanan meja dan kursi, sudah rampung belum?”
“Tinggal kursi yang sudah, meja belum dikasih daunnya,” ujar Iman si pemilik panglong tersebut.
“Kapan selesainya?” Kataku via handphone selular.
“Ya minggu-minggu ini,”
“Jangan lama-lama Pak. Saya sudah dihubungi lagi sama yang punya. Tolong Bapak selesaikan secepatnya.” ujarku, kesel. “Iya Pak. Iya Pak!” sahut si pemilik panglong lagi.
Seminggu yang dijanjikan selesai, waktunya sudah berlalu, tapi pengerjaannya terlambat lagi. aku penasaran menghubungi langsung ke panglongnya di Cipacing. Ternyata kursi dan meja belum diapa-apakan. Belum ada tanda-tanda pengerjaan yang cepat diselssaikan, malah mengerjakan yang lain. Alasannya nggak ada yang mengerjakannya.
“Pak, aku bayar lunas maksudnya supaya tidak seperti begini. Lambat! ” suara aku meninggi.
Si pemilik panglong terus saja mengangguk-angguk tanda menerima kesalahannya. Tapi aku sudah tidak sabar dengan perlakuannya yang menjengkel kan perasaan.
“Saya tidak enak hati sama yang pesannya. Nanyain terus. Nanti ada prasangka yang bukan-bukan ke saya. Bagaimana ini, bisa dikerjakan enggak?” aku marah. Kesal di depannya yang tampak malah ngotak-ngatik hp bukannya bekerja malah orang lain yang bekerja. Itu pun bukan kerjaan yang aku pesan.
Aku berpikir negatif. Kalau sampai aku terjadi apa-apa sama Pak Wahyu, karena kecewa atas sikapku, maka yang aku tekan si pemilik panglong ini. Aku akan bakar panglongnya dan tidak bisa kenal kompromi lagi. Marahku sudah memuncak ketika aku berkali-kali datang ke panglong ternyata belum juga dikerjakan. Apa salahku, uang sudah lunas aku berikan. Apalagi yang kurang. Sungguh tidak profesional. Aku tunggu saja janjinya minggu ini selesai. Bukan apa-apa. Pesanan ini justru menggunakan uang Negara dari bantuan kepada lembaga sejumlah siswa berupa bantuan operasional sekolah. Waktunya harus selesai bulan ini juga
Mimpi Meraih Prestasi
Seperti biasa emak Limbok selalu membuka daun jendela kamar Limbok setiap pukul 05.30 pagi. Jendela kamar sudah terbuka sejam lalu, namun Limbok masih saja mengeluarkan dengkuran. Kedua kakinya yang besar, padat mengapit guling. Seandainya guling itu makhluk hidup, pastilah sudah lama mati lemas karena dijepit paha Limbok.
“Mbok… bangun,” seru Emaknya dari dapur.
Tubuh Limbok tak bergeming. “MBOKK…” seru Emaknya yang kedua kali. Kali ini lebih melengking.
Tubuh Limbok mulai bergerak. Kalau tadi tubuhnya miring ke kanan dan kedua kakinya mengapit guling kali ini berubah. Ia menggeliat sejenak. Kemudian tubuhnya beralih miring ke kiri. Matanya tetap saja terpejam. Kedua kakinya kembali mengapit gulingnya. Tiba-tiba ada rasa dingin dan benda cair mengalir di pipi kanannya. Srtt… Tangan kanannya secara refleks mengusap pipinya. Serta merta ia membuka matanya.
“Air…??” katanya serak. Sambil melap pipinya.
Kedua matanya yang masih terkantuk-kantuk itu melihat sosok manusia di depannya. “Molor lagi… BANGUN!!” seru emaknya, “jika kamu enggak bangun, Emak akan siram air ke wajahmu.”
“Ini kan libur Mak,” Limbok membela diri. “Libur itu bukan lantas bermalas-malasan.”
“Limbok enggak bermalas-malasan Mak, Limbok sedang melakukan perintah Pak guru,”
“Hahh.. perintah Pak guru apa itu?” ujar emaknya ingin tahu.
“Mimpi yang banyak meraih prestasi.” jawab Limbok sambil kaki kanannya memainkan gulingnya.
“Apa itu?”
“Begini Mak, dalam libur ini kita diminta Pak guru untuk mimpi meraih prestasi sebanyak-banyaknya.”
“Mimpi meraih prestasi, apaan tuh?”
“Ya… seperti mimpi menjadi juara kelas, mimpi menjadi sarjana atau mimpi menjadi pengusaha sukses dan masih banyak lagi.”
Emaknya mencoba menahan diri. “Lalu Mbok… apa gurumu mengajarmu tiap hari tidur, molor sampai tengah hari untuk dapat menjadi sarjana?”
“Enggak sih Mak,” jawab Limbok kalem.
“Mimpi itu harus diwujudkan dengan…”
“Dengan apa, ayo…” potong emaknya.
“sepertinya dengan bee…llla…jarr, rajinnn, dan..” Limbok mulai gemetaran.
“Lalu kenapa kamu bangunnya molor melulu,” tanya emaknya yang majahnya mulai tanpak kesal.
“Abis Mak, Limbok harus tidur supaya banyak bermimpi.”
“Mimpi itu artinya cita-cita Mbok… Itu berarti kita harus belajar yang rajin, bukan tiap hari tidur tiap hari kerjanya tidur seperti kamu ini…” sergah emaknya sambil tangan kanan menjewer telinga Limbok. “Iya.. iya Mak.. aku akan mandi…” seru Limbok.
Kali ini Limbok terpaksa bangun atau telinganya akan molor kayak telinga gajah. Sejak saat itu Limbok belajar bahwa mimpi menjadi orang berprestasi itu harus diraup dengan tekun belajar dan disiplin bukan banyak tidur supaya banyak bermimpi.
“Mbok… bangun,” seru Emaknya dari dapur.
Tubuh Limbok tak bergeming. “MBOKK…” seru Emaknya yang kedua kali. Kali ini lebih melengking.
Tubuh Limbok mulai bergerak. Kalau tadi tubuhnya miring ke kanan dan kedua kakinya mengapit guling kali ini berubah. Ia menggeliat sejenak. Kemudian tubuhnya beralih miring ke kiri. Matanya tetap saja terpejam. Kedua kakinya kembali mengapit gulingnya. Tiba-tiba ada rasa dingin dan benda cair mengalir di pipi kanannya. Srtt… Tangan kanannya secara refleks mengusap pipinya. Serta merta ia membuka matanya.
“Air…??” katanya serak. Sambil melap pipinya.
Kedua matanya yang masih terkantuk-kantuk itu melihat sosok manusia di depannya. “Molor lagi… BANGUN!!” seru emaknya, “jika kamu enggak bangun, Emak akan siram air ke wajahmu.”
“Ini kan libur Mak,” Limbok membela diri. “Libur itu bukan lantas bermalas-malasan.”
“Limbok enggak bermalas-malasan Mak, Limbok sedang melakukan perintah Pak guru,”
“Hahh.. perintah Pak guru apa itu?” ujar emaknya ingin tahu.
“Mimpi yang banyak meraih prestasi.” jawab Limbok sambil kaki kanannya memainkan gulingnya.
“Apa itu?”
“Begini Mak, dalam libur ini kita diminta Pak guru untuk mimpi meraih prestasi sebanyak-banyaknya.”
“Mimpi meraih prestasi, apaan tuh?”
“Ya… seperti mimpi menjadi juara kelas, mimpi menjadi sarjana atau mimpi menjadi pengusaha sukses dan masih banyak lagi.”
Emaknya mencoba menahan diri. “Lalu Mbok… apa gurumu mengajarmu tiap hari tidur, molor sampai tengah hari untuk dapat menjadi sarjana?”
“Enggak sih Mak,” jawab Limbok kalem.
“Mimpi itu harus diwujudkan dengan…”
“Dengan apa, ayo…” potong emaknya.
“sepertinya dengan bee…llla…jarr, rajinnn, dan..” Limbok mulai gemetaran.
“Lalu kenapa kamu bangunnya molor melulu,” tanya emaknya yang majahnya mulai tanpak kesal.
“Abis Mak, Limbok harus tidur supaya banyak bermimpi.”
“Mimpi itu artinya cita-cita Mbok… Itu berarti kita harus belajar yang rajin, bukan tiap hari tidur tiap hari kerjanya tidur seperti kamu ini…” sergah emaknya sambil tangan kanan menjewer telinga Limbok. “Iya.. iya Mak.. aku akan mandi…” seru Limbok.
Kali ini Limbok terpaksa bangun atau telinganya akan molor kayak telinga gajah. Sejak saat itu Limbok belajar bahwa mimpi menjadi orang berprestasi itu harus diraup dengan tekun belajar dan disiplin bukan banyak tidur supaya banyak bermimpi.
Aku Ingin Seperti Mereka
Namaku Gentar. Aku seorang yatim piatu. Aku tinggal sebatang kara di sebuah tempat yang tak asing kalian dengar. Ya di bawah kolong jembatan. Ini adalah kisah hidupku yang termotivasi dari segala perjuangan hidupku. Mentari bersinar cerah. Ya.. Pagi itu ku bangun tepat jam 05.00 pagi. Seperti biasanya aku tidak pernah bangun terlambat, karena aku adalah anak mandiri dan selalu termotivasi oleh waktu.
Pukul 05.30 aku siap untuk berkeliling lagi menyusuri lorong-lorong dan jalan raya yang begitu panjang untuk menjual kue pisang yang ku buat sendiri. Setiap pagi aku mengunjungi rumah atau tempat yang biasanya membeli kueku. Tak peduli dengan teriknya matahari yang telak menusuk ubun-ubunku, aku terus berjalan demi mendapatkan sepiring nasi. Entah mengapa ketika ku temukan segala kesulitan hidup, aku selalu tersenyum dan tertawa.
Suatu hari seperti biasanya aku menyusuri kembali jalan raya dan lorong-lorong dengan penuh harapan yang menggelora. Tibalah aku di sebuah tempat yang yah.. mungkin bagi kalian itu adalah tempat yang sering kalian kunjungi tiap hari. Ya. Itu adalah sebuah sekolah, tepatnya SMA KARYA BUMI. Salah satu sekolah yang elit dan bermutu di kotaku. Aku selalu berdiri di depan gerbang sekolah itu untuk menunggu jam istirahat para murid. Waktu terus berjalan dan lumayanlah, kueku semua laku terjual.
Tidak sadar bahwa setiap hari aku selalu mengunjungi sekolah itu. Dan entah kenapa ketika aku melihat anak-anak seumuran denganku, aku selalu, merasa iri dengan mereka. Aku dan mereka adalah sama-sama anak negeri ini, memiliki postur tubuh yang sama, memiliki keinginan yang sama dan memiliki potensi yang sama, akan tetapi mengapa mereka mendapatkan hal yang tidak seimbang dengan keadaanku? Apakah aku juga tidak berhak untuk menjadi seperti mereka?
Dan ketika ku berdiri di depan pintu gerbang sekolah itu. Aku menatap anak-anak itu, dan berdoa dalam hati, “Tuhan, aku ingin seperti mereka.” Ya. Itulah doaku.
Pukul 05.30 aku siap untuk berkeliling lagi menyusuri lorong-lorong dan jalan raya yang begitu panjang untuk menjual kue pisang yang ku buat sendiri. Setiap pagi aku mengunjungi rumah atau tempat yang biasanya membeli kueku. Tak peduli dengan teriknya matahari yang telak menusuk ubun-ubunku, aku terus berjalan demi mendapatkan sepiring nasi. Entah mengapa ketika ku temukan segala kesulitan hidup, aku selalu tersenyum dan tertawa.
Suatu hari seperti biasanya aku menyusuri kembali jalan raya dan lorong-lorong dengan penuh harapan yang menggelora. Tibalah aku di sebuah tempat yang yah.. mungkin bagi kalian itu adalah tempat yang sering kalian kunjungi tiap hari. Ya. Itu adalah sebuah sekolah, tepatnya SMA KARYA BUMI. Salah satu sekolah yang elit dan bermutu di kotaku. Aku selalu berdiri di depan gerbang sekolah itu untuk menunggu jam istirahat para murid. Waktu terus berjalan dan lumayanlah, kueku semua laku terjual.
Tidak sadar bahwa setiap hari aku selalu mengunjungi sekolah itu. Dan entah kenapa ketika aku melihat anak-anak seumuran denganku, aku selalu, merasa iri dengan mereka. Aku dan mereka adalah sama-sama anak negeri ini, memiliki postur tubuh yang sama, memiliki keinginan yang sama dan memiliki potensi yang sama, akan tetapi mengapa mereka mendapatkan hal yang tidak seimbang dengan keadaanku? Apakah aku juga tidak berhak untuk menjadi seperti mereka?
Dan ketika ku berdiri di depan pintu gerbang sekolah itu. Aku menatap anak-anak itu, dan berdoa dalam hati, “Tuhan, aku ingin seperti mereka.” Ya. Itulah doaku.
mentari di ujung senja
Kaki-kaki berlarian, hentakkan sepatu saling mengejar diiringi canda tawa, terdengar memekik di telinga Aisyah, selagi bola matanya masih sibuk menyisir suasana riuh, riang wajah-wajah calon teman-temannya itu. Tak sadar sedari tadi bibirnya pun menyimpul senyum termanis tak kalah senangnya dibanding mereka. Bahkan ia dapat melihat kelap-kelip binar tersuar, berpendar ke luar dari aura ruang kelas itu berwarna-warni, tampak bercahaya. Telah lama ia rindukan hari ini. Selalu menantikan suasana di hadapnya. Dan akhirnya Tuhan memberikan kesempatan untuknya mengecap rasa itu lagi. Suka cita bersekolah! Sungguh hatinya serasa ingin ke luar dan menari sampai kakinya tak sanggup berdiri lagi. Tak ada satu kata pun yang dapat menggambarkan perasaannya itu.
Tahun lalu Aisyah mogok sekolah. Tidak melanjutkan ke jenjang SMP setelah lulus dari SD, lantaran orangtuanya tak mampu dengan biaya sekolah pada masa itu. Ayahnya bilang agar Aisyah sementara tinggal di rumah saja. Belajar melukis bersamanya. Gadis berperawakan kecil dan berambut sebahu itu menurut, meski hatinya tetap ingin sekolah. Aisyah murid yang cerdas. Selalu mendapat peringkat 5 besar di kelas. Selama setahun di rumah ia rajin belajar melukis dari bimbingan sang Ayah, meski Ayahnya jarang pulang. Entah urusan kerja atau yang lain, Aisyah tak pernah tahu.
Suatu hari ia mendengar kabar bahwa tahun ajaran sekolah akan segera usai. Ia kegirangan. Hasrat terpendam kembali mencuat. Dengan semangat menggebu-gebu ia mengungkapkan pada sang Ayah keinginannya untuk sekolah lagi. Beliau setuju. Toh, kini Ibunya sudah berangkat ke luar negeri menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) dan selalu mengirimkan uang bulanan ke rumah, meski tak pernah cukup karena kebutuhan keluarga yang lebih besar dari pendapatan. Sementara itu, kebetulan di Desanya ada program bantuan sekolah dari pemerintah untuk keluarga tak mampu. Tak disangka-sangka Pak RT pun sudah mengikutkan Aisyah sebagai penyandang beasiswa tersebut. Lengkap sudah kebahagiaan Aisyah. Cita-citanya untuk sekolah lagi akan segera terwujud.
Lalu tibalah hari ini. Hari ketiga MOS (Masa Orientasi Siswa) di sekolah barunya itu. Aisyah masih senyam-senyum, namun tetap duduk manis di bangkunya karena memang ia tak mengenal satu teman pun. Rasanya seperti pertama masuk sekolah saja. Jantungnya berdebar-debar hingga perutnya mulas seperti ada yang berterbangan di dalam sana. Suasana ruang kelas agak tenang dan semua murid duduk di bangku masing-masing karena sesaat lalu bel tanda Guru pembimbing atau Kakak pembina akan segera masuk dan mengisi agenda untuk hari ini.
Seorang wanita yang mengenakan seragam dinas warna cokelat dan berjilbab berjalan masuk melewati pintu, berhenti di depan kelas, lalu membuka sebuah map di depan mukanya.
“Yang namanya disebut, harap ke luar dan lapor ke ruang TU (Tata Usaha).” Kata wanita itu, lalu mulai melafalkan satu demi satu nama murid, dan kemudian mereka yang disebut langsung ke luar kelas. Aisyah baru ingat dia seseorang yang bertugas di ruang TU, ketika namanya ikut terlantun dari mulut wanita itu. Ia bangkit dan segera berlalu menuju ruang TU.
Beberapa murid tengah mengerubungi salah satu meja, saat Aisyah memasuki ruangan yang terletak di antara ruang kepala sekolah dan toilet guru itu. Kemudian ia pun ikut membaur. Baris berjajar, menunggui giliran di belakang seorang murid laki-laki. Setelah masing-masing mendapat selebaran kertas yang bertuliskan daftar keterangaan biaya yang belum dilunasi dan sebuah kartu peserta -yang mendapat- beasiswa. Aisyah dan semua murid mendengarkan keterangan petugas TU yang mewajibkan mereka untuk menyelesaikannya sebelum MOS berakhir, karena senin depan dimulainya pelajaran semester pertama sekolah. Yang artinya harus ‘hari ini’.
—
Aisyah termenung menatapi selembar kertas dan sebuah kartu hijau di tangan, sambil sesekali menengok ke arah bangunan sekolah di belakangnya. Beberapa saat lalu hatinya kepalang senang, sekarang ia hanya anak malang. Tak disangka-sangka Ayahnya tidak membayarkan biaya pendaftaran dirinya, dan kini entah di mana dia berada. Aisyah bingung. Padahal ia tahu uang itu diamanahkan oleh Ibunya khusus untuk biaya sekolahnya. Ada kesal, sedih, bingung, bercampur menjadi satu. Dan sekarang, di kantongnya hanya cukup untuk ongkos pulang saja. Nenek Aisyah selalu memberinya uang saku yang pas-pasan. Bahkan selama sekolah ia tak pernah jajan.
Kertas itu kembali diliriknya. Sangat jelas, seolah huruf-huruf bertinta hitam di atas lembar putihnya mencolok bening pupil hingga sakitnya menjalar menusuk-nusuk jantung. Sedangkan kartu itu seperti pasien yang perlu dilarikan ke UGD (Unit Gawat Darurat) di Dinas pendidikan karena nama wali murid yang tertera tidak sesuai dengan nama di Ijazah SD-nya. Pilihannya sudah jelas tinggal satu, yaitu memperbaiki kartu itu hari ini juga ke Dinas Pendidikan. Tapi kendalanya adalah … pulang ke rumah? Untuk apa? Ia tak yakin Neneknya punya uang lebih untuk saat ini. Makan sehari-hari saja selalu gali lubang tutup lubang. Tapi bila tak segera, maka senin besok ia tak dibolehkan masuk kelas. Tenggorokannya serasa terganjal sesuatu yang padat dan keras. Awan semakin menggelap di atas kepalanya.
Tidak. Ia tidak mau membuang kesempatan di depan mata begitu saja. Susah payah sudah berjuang sejauh ini lalu menyerah karena setitik goresan terbalik? Tidak! Semua itu tak akan menggoyahkan niat yang sungguh-sungguh telah diusung di dalam hatinya. Ia harus berjuang sampai titik darah penghabisan. Ia harus bisa. Ia pasti bisa! Kata Guru TU, Kantor Dinas pendidikan terletak di sebelah Kantor Polres di Kecamatan. Maka di sinilah Aisyah berada.
“Assalamualaikum, Pak,” tegur Aisyah pada dua Pak polisi yang berdiri di depan bangunan yang ia yakini sangat ditakuti Para penjahat itu.
“Ya, Dek. Ada apa?” sahut salah satunya, tersenyum ramah.
“Saya mau memperbaiki kartu ini,” kata Aisyah sambil menunjukan kartu hijau di tangannya itu.
“apa di sini Dinas pendidikan?” lanjutnya, saat kartu tersebut telah berpindah tangan di Pak polisi.
“Oh, ini bukan Dinas pendidikan, Dek.” Dua polisi itu terkikik geli.
“Saya bisa lihat, Pak. Tapi Guru saya bilang kantor Dinas Pendidikan letaknya di sebelah kantor Polisi,” Aisyah menerangkan. Agak kesal sudah ditertawakan.
“Mungkin maksud Guru Adek setelah kantor Polres, memang beberapa kilo dari sini ada Dinas Pendidikan di sebelah SD di pasar induk.”
“Kalau begitu saya salah dong, Pak.” keluh Aisyah, menundukkan kepala karena rasa malu yang merayapi wajahnya hingga menjadi merah.
“Ya sudah, terima kasih banyak ya, Pak,” lanjut Aisyah berlalu, setelah dua Pak polisi itu mengingatkannya untuk berhati-hati.
Aisyah kembali mendapati kegusarannya makin melebar karena receh di balik kantongnya hanya cukup untuk sekali jalan. Namun ia juga tahu, letak pasar induk hanya beberapa kilometer dari tempatnya berdiri.
Hari makin siang. Hangat mentari sudah berubah menjadi sinar yang menyengat kulit dan mengucurkan keringat yang ke luar dari pori-porinya. Aisyah mengelap keningnya dengan punggung telapak tangan, sambil setia menyusuri jalan setapak yang terasa kian melangkah kian panjang saja kelihatannya. Tenggorokannya kering seolah butir pasir tersebar di dalam sana. Dalam benaknya ia bertekad tak akan menyerah. Ia ingin sekolah. Belajar, berteman, dan menwujudkan cita-citanya yang suatu hari ingin menjadi orang yang berguna. Untuk orangtuanya dan Negara tercinta. Ia ingin menjadi seorang Guru. Dan ia tahu hanya dirinyalah yang dapat merubah nasib. Ia tak mau menyalahkan Ayahnya yang pergi membawa uang sekolah ataupun teriknya matahari hari ini.
Setelah 45 menit berjalan, akhirnya sampai jua Aisyah di depan Kantor Dinas Pendidikan. Tercantum huruf kapital di atas pintunya -tak salah lagi ini benar tempat tujuannya. Dengan separuh perasaan lega ia melewati pintu dan langsung disambut oleh meja dan tumpukan map-map yang berwarna-warni di depan mata.
“Assalamualaikum,” sapa Aisyah, “Saya mau memperbaiki nama yang tertera di kartu ini.” selagi tangan kanannya menyodorkan sebuah kartu hijau kepada seorang Pria yang duduk di belakang meja yang berantakan itu.
“Taruh saja di atas meja.” kata Pria itu tanpa menoleh sedikit pun. Pandangannya lurus, berkutat dengan bulpoin hitam di atas kartu-kartu mirip milik Aisyah. Ia mencorat-coret huruf -yang mungkin- tidak sesuai atau yang perlu diperbaiki. Bola matanya nyaris lepas, saat tahu bahwa kartu-kartu bermasalah itu memang persis seperti miliknya dan jumlahnya ada puluhan. Belum lagi yang ada di dalam map warna-warni itu. Ia menelan ludah.
“Pak, boleh tahu kartu saya sampai kapan selesai diperbaiki?” kedengarannya memang tidak sopan. Mengingat, pasti, Bapak itu cape sekali dengan ratusan kerjaan yang harus diselesaikannya itu. Namun hatinya seolah berteriak, tak dapat diredam, ingin segera tahu agar hilang ganjalan itu. Resah itu. Bapak itu mendongak, matanya mengunci mata Aisyah. Tatapannya nanar. Sedikit tampak kesal sudah terganggu. “Dek, kamu lihat sendiri kan kasus yang sama seperti milikmu itu tidak sedikit,” ia menghela napas, “jadi Bapak tidak tahu. Tapi Bapak akan mengusahakan secepat mungkin.”
Sebenarnya Aisyah ingin bertanya lebih lanjut, bagaimana kalau kartu miliknya sampai telat atau tidak dapat diperbaiki lagi? Sedangkan Guru TU sudah menjelaskan dengan rinci perihal murid-murid yang belum melunasi pendaftaran tidak diperbolehkan ikut pelajaran untuk senin depan. Apakah mimpinya akan berakhir sampai di sini? Cita-citanya untuk bersekolah akan terbengkalai sebelum mulai? Menjadi Guru. Mengajar di depan kelas dan sesekali memberikan hukuman kepada anak yang bandel, mungkin akan selalu menjadi angan-angan saja.
Bening hangat tak terasa telah luruh di pipi Aisyah. Kembali ganjalan yang padat dan keras itu memenuhi kerongkongannya. Ia menundukkan kepala. Rasa lesuh tiba-tiba merayapi tubuhnya.
Saat pikirannya berkabut, gemericik air hujan kian lebat yang seragam merah putihnya langsung dibuat kuyup di sore yang gelap itu. Dengan gontai ia menyeberangi jalan raya, menunggu kendaraan umum di sisi lain jalan, hendak menuju rumah.
Tiba-tiba dari kejauhan tampak sebuah mobil Avanza hitam yang melaju dengan kecepatan di atas normal tergelincir di atas aspal karena rintik air hujan yang melicinkan putaran roda hingga menyebabkan laju mobil tidak stabil. Aisyah mendongak, ketika tepat, sinar lampu mobil yang menyilaukan pandangan, disusul decitan dan gemuruh kilat menyambar menerjang tubuhnya. Ia terpelanting beberapa meter, jatuh seperti karung kentang, tergeletak di atas aspal. Seketika itu juga pandangannya menghitam.
—
Cicitan suara burung liar terdengar merdu seolah bersahut-sahut menyambut kuning keemasan sinar mentari yang seperti malu-malu mengintip di balik awan. Tak kalah merdunya dengan gelak tawa gadis-gadis kecil -jenjang TK- yang tengah menyirami warna-warni bunga di depan kelas mereka. Hari ini ‘hari berkebun’ yang sudah dijadikan rutinitas Yayasan Pendidikan tingkat TK, SD, SMP sampai SMU tersebut. Sedangkan kelas yang lain juga tampak sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang mencabuti rumput, menanam pohon baru, memberi pupuk dan ada pula yang saling dorong dengan teman-temannya. Semua murid tampak menikmati hari yang indah ini. Sinar mentari serasa tersenyum tak henti-hentinya seperti senyum seorang wanita yang duduk di kursi roda yang tengah menyiram bunga bersama gadis-gadis kecil di samping kanan kirinya.
“Bu, mawarnya sudah mekar, sudah mekar!” teriak salah satu dari mereka, melompat-lompat kecil, kegirangan.
“Ah … kamu benar, Nila,” sahut wanita berkursi roda itu.
“Ini semua berkat kerajinan kalian merawat bunga-bunga ini dan selalu giat belajar.” lanjut wanita tua itu, memuji mereka yang serempak menjawab dengan, “Itu aku, Bu!?” Wanita tua itu terkikik geli melihat tingkah lucu murid-muridnya itu.
“Ibu kepala sekolah, sekarang sudah saatnya,” sela Ibu Nining, wakil kepala sekolah.
Wanita tua itu tersenyum, kala mendongak ke arah Ibu Nining.
Lalu berkata, “Bu Nining, cukup panggil saya Bu Aisyah saja. Tidak perlu formal di hari berkebun.”
Wanita tua itu, -Bu Aisyah- dalam hatinya tak henti-hentinya mengucap syukur atas segala karunia yang Tuhan berikan. Perjuangannya selama ini tidak sia-sia. Semangatnya yang menggebu-gebu dari dulu tak pernah padam, meski rintangan menerjang dan cobaan silih berganti, ia tetap melanjutkan sekolah agar terwujud cita-cita sucinya. Begitu pula ia selalu mengingatkan anak-anak didiknya, karena bila bersungguh-sungguh semua pasti tercapai. Cita-citanya menjadi seorang Guru, telah tercapai.
Tahun lalu Aisyah mogok sekolah. Tidak melanjutkan ke jenjang SMP setelah lulus dari SD, lantaran orangtuanya tak mampu dengan biaya sekolah pada masa itu. Ayahnya bilang agar Aisyah sementara tinggal di rumah saja. Belajar melukis bersamanya. Gadis berperawakan kecil dan berambut sebahu itu menurut, meski hatinya tetap ingin sekolah. Aisyah murid yang cerdas. Selalu mendapat peringkat 5 besar di kelas. Selama setahun di rumah ia rajin belajar melukis dari bimbingan sang Ayah, meski Ayahnya jarang pulang. Entah urusan kerja atau yang lain, Aisyah tak pernah tahu.
Suatu hari ia mendengar kabar bahwa tahun ajaran sekolah akan segera usai. Ia kegirangan. Hasrat terpendam kembali mencuat. Dengan semangat menggebu-gebu ia mengungkapkan pada sang Ayah keinginannya untuk sekolah lagi. Beliau setuju. Toh, kini Ibunya sudah berangkat ke luar negeri menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) dan selalu mengirimkan uang bulanan ke rumah, meski tak pernah cukup karena kebutuhan keluarga yang lebih besar dari pendapatan. Sementara itu, kebetulan di Desanya ada program bantuan sekolah dari pemerintah untuk keluarga tak mampu. Tak disangka-sangka Pak RT pun sudah mengikutkan Aisyah sebagai penyandang beasiswa tersebut. Lengkap sudah kebahagiaan Aisyah. Cita-citanya untuk sekolah lagi akan segera terwujud.
Lalu tibalah hari ini. Hari ketiga MOS (Masa Orientasi Siswa) di sekolah barunya itu. Aisyah masih senyam-senyum, namun tetap duduk manis di bangkunya karena memang ia tak mengenal satu teman pun. Rasanya seperti pertama masuk sekolah saja. Jantungnya berdebar-debar hingga perutnya mulas seperti ada yang berterbangan di dalam sana. Suasana ruang kelas agak tenang dan semua murid duduk di bangku masing-masing karena sesaat lalu bel tanda Guru pembimbing atau Kakak pembina akan segera masuk dan mengisi agenda untuk hari ini.
Seorang wanita yang mengenakan seragam dinas warna cokelat dan berjilbab berjalan masuk melewati pintu, berhenti di depan kelas, lalu membuka sebuah map di depan mukanya.
“Yang namanya disebut, harap ke luar dan lapor ke ruang TU (Tata Usaha).” Kata wanita itu, lalu mulai melafalkan satu demi satu nama murid, dan kemudian mereka yang disebut langsung ke luar kelas. Aisyah baru ingat dia seseorang yang bertugas di ruang TU, ketika namanya ikut terlantun dari mulut wanita itu. Ia bangkit dan segera berlalu menuju ruang TU.
Beberapa murid tengah mengerubungi salah satu meja, saat Aisyah memasuki ruangan yang terletak di antara ruang kepala sekolah dan toilet guru itu. Kemudian ia pun ikut membaur. Baris berjajar, menunggui giliran di belakang seorang murid laki-laki. Setelah masing-masing mendapat selebaran kertas yang bertuliskan daftar keterangaan biaya yang belum dilunasi dan sebuah kartu peserta -yang mendapat- beasiswa. Aisyah dan semua murid mendengarkan keterangan petugas TU yang mewajibkan mereka untuk menyelesaikannya sebelum MOS berakhir, karena senin depan dimulainya pelajaran semester pertama sekolah. Yang artinya harus ‘hari ini’.
—
Aisyah termenung menatapi selembar kertas dan sebuah kartu hijau di tangan, sambil sesekali menengok ke arah bangunan sekolah di belakangnya. Beberapa saat lalu hatinya kepalang senang, sekarang ia hanya anak malang. Tak disangka-sangka Ayahnya tidak membayarkan biaya pendaftaran dirinya, dan kini entah di mana dia berada. Aisyah bingung. Padahal ia tahu uang itu diamanahkan oleh Ibunya khusus untuk biaya sekolahnya. Ada kesal, sedih, bingung, bercampur menjadi satu. Dan sekarang, di kantongnya hanya cukup untuk ongkos pulang saja. Nenek Aisyah selalu memberinya uang saku yang pas-pasan. Bahkan selama sekolah ia tak pernah jajan.
Kertas itu kembali diliriknya. Sangat jelas, seolah huruf-huruf bertinta hitam di atas lembar putihnya mencolok bening pupil hingga sakitnya menjalar menusuk-nusuk jantung. Sedangkan kartu itu seperti pasien yang perlu dilarikan ke UGD (Unit Gawat Darurat) di Dinas pendidikan karena nama wali murid yang tertera tidak sesuai dengan nama di Ijazah SD-nya. Pilihannya sudah jelas tinggal satu, yaitu memperbaiki kartu itu hari ini juga ke Dinas Pendidikan. Tapi kendalanya adalah … pulang ke rumah? Untuk apa? Ia tak yakin Neneknya punya uang lebih untuk saat ini. Makan sehari-hari saja selalu gali lubang tutup lubang. Tapi bila tak segera, maka senin besok ia tak dibolehkan masuk kelas. Tenggorokannya serasa terganjal sesuatu yang padat dan keras. Awan semakin menggelap di atas kepalanya.
Tidak. Ia tidak mau membuang kesempatan di depan mata begitu saja. Susah payah sudah berjuang sejauh ini lalu menyerah karena setitik goresan terbalik? Tidak! Semua itu tak akan menggoyahkan niat yang sungguh-sungguh telah diusung di dalam hatinya. Ia harus berjuang sampai titik darah penghabisan. Ia harus bisa. Ia pasti bisa! Kata Guru TU, Kantor Dinas pendidikan terletak di sebelah Kantor Polres di Kecamatan. Maka di sinilah Aisyah berada.
“Assalamualaikum, Pak,” tegur Aisyah pada dua Pak polisi yang berdiri di depan bangunan yang ia yakini sangat ditakuti Para penjahat itu.
“Ya, Dek. Ada apa?” sahut salah satunya, tersenyum ramah.
“Saya mau memperbaiki kartu ini,” kata Aisyah sambil menunjukan kartu hijau di tangannya itu.
“apa di sini Dinas pendidikan?” lanjutnya, saat kartu tersebut telah berpindah tangan di Pak polisi.
“Oh, ini bukan Dinas pendidikan, Dek.” Dua polisi itu terkikik geli.
“Saya bisa lihat, Pak. Tapi Guru saya bilang kantor Dinas Pendidikan letaknya di sebelah kantor Polisi,” Aisyah menerangkan. Agak kesal sudah ditertawakan.
“Mungkin maksud Guru Adek setelah kantor Polres, memang beberapa kilo dari sini ada Dinas Pendidikan di sebelah SD di pasar induk.”
“Kalau begitu saya salah dong, Pak.” keluh Aisyah, menundukkan kepala karena rasa malu yang merayapi wajahnya hingga menjadi merah.
“Ya sudah, terima kasih banyak ya, Pak,” lanjut Aisyah berlalu, setelah dua Pak polisi itu mengingatkannya untuk berhati-hati.
Aisyah kembali mendapati kegusarannya makin melebar karena receh di balik kantongnya hanya cukup untuk sekali jalan. Namun ia juga tahu, letak pasar induk hanya beberapa kilometer dari tempatnya berdiri.
Hari makin siang. Hangat mentari sudah berubah menjadi sinar yang menyengat kulit dan mengucurkan keringat yang ke luar dari pori-porinya. Aisyah mengelap keningnya dengan punggung telapak tangan, sambil setia menyusuri jalan setapak yang terasa kian melangkah kian panjang saja kelihatannya. Tenggorokannya kering seolah butir pasir tersebar di dalam sana. Dalam benaknya ia bertekad tak akan menyerah. Ia ingin sekolah. Belajar, berteman, dan menwujudkan cita-citanya yang suatu hari ingin menjadi orang yang berguna. Untuk orangtuanya dan Negara tercinta. Ia ingin menjadi seorang Guru. Dan ia tahu hanya dirinyalah yang dapat merubah nasib. Ia tak mau menyalahkan Ayahnya yang pergi membawa uang sekolah ataupun teriknya matahari hari ini.
Setelah 45 menit berjalan, akhirnya sampai jua Aisyah di depan Kantor Dinas Pendidikan. Tercantum huruf kapital di atas pintunya -tak salah lagi ini benar tempat tujuannya. Dengan separuh perasaan lega ia melewati pintu dan langsung disambut oleh meja dan tumpukan map-map yang berwarna-warni di depan mata.
“Assalamualaikum,” sapa Aisyah, “Saya mau memperbaiki nama yang tertera di kartu ini.” selagi tangan kanannya menyodorkan sebuah kartu hijau kepada seorang Pria yang duduk di belakang meja yang berantakan itu.
“Taruh saja di atas meja.” kata Pria itu tanpa menoleh sedikit pun. Pandangannya lurus, berkutat dengan bulpoin hitam di atas kartu-kartu mirip milik Aisyah. Ia mencorat-coret huruf -yang mungkin- tidak sesuai atau yang perlu diperbaiki. Bola matanya nyaris lepas, saat tahu bahwa kartu-kartu bermasalah itu memang persis seperti miliknya dan jumlahnya ada puluhan. Belum lagi yang ada di dalam map warna-warni itu. Ia menelan ludah.
“Pak, boleh tahu kartu saya sampai kapan selesai diperbaiki?” kedengarannya memang tidak sopan. Mengingat, pasti, Bapak itu cape sekali dengan ratusan kerjaan yang harus diselesaikannya itu. Namun hatinya seolah berteriak, tak dapat diredam, ingin segera tahu agar hilang ganjalan itu. Resah itu. Bapak itu mendongak, matanya mengunci mata Aisyah. Tatapannya nanar. Sedikit tampak kesal sudah terganggu. “Dek, kamu lihat sendiri kan kasus yang sama seperti milikmu itu tidak sedikit,” ia menghela napas, “jadi Bapak tidak tahu. Tapi Bapak akan mengusahakan secepat mungkin.”
Sebenarnya Aisyah ingin bertanya lebih lanjut, bagaimana kalau kartu miliknya sampai telat atau tidak dapat diperbaiki lagi? Sedangkan Guru TU sudah menjelaskan dengan rinci perihal murid-murid yang belum melunasi pendaftaran tidak diperbolehkan ikut pelajaran untuk senin depan. Apakah mimpinya akan berakhir sampai di sini? Cita-citanya untuk bersekolah akan terbengkalai sebelum mulai? Menjadi Guru. Mengajar di depan kelas dan sesekali memberikan hukuman kepada anak yang bandel, mungkin akan selalu menjadi angan-angan saja.
Bening hangat tak terasa telah luruh di pipi Aisyah. Kembali ganjalan yang padat dan keras itu memenuhi kerongkongannya. Ia menundukkan kepala. Rasa lesuh tiba-tiba merayapi tubuhnya.
Saat pikirannya berkabut, gemericik air hujan kian lebat yang seragam merah putihnya langsung dibuat kuyup di sore yang gelap itu. Dengan gontai ia menyeberangi jalan raya, menunggu kendaraan umum di sisi lain jalan, hendak menuju rumah.
Tiba-tiba dari kejauhan tampak sebuah mobil Avanza hitam yang melaju dengan kecepatan di atas normal tergelincir di atas aspal karena rintik air hujan yang melicinkan putaran roda hingga menyebabkan laju mobil tidak stabil. Aisyah mendongak, ketika tepat, sinar lampu mobil yang menyilaukan pandangan, disusul decitan dan gemuruh kilat menyambar menerjang tubuhnya. Ia terpelanting beberapa meter, jatuh seperti karung kentang, tergeletak di atas aspal. Seketika itu juga pandangannya menghitam.
—
Cicitan suara burung liar terdengar merdu seolah bersahut-sahut menyambut kuning keemasan sinar mentari yang seperti malu-malu mengintip di balik awan. Tak kalah merdunya dengan gelak tawa gadis-gadis kecil -jenjang TK- yang tengah menyirami warna-warni bunga di depan kelas mereka. Hari ini ‘hari berkebun’ yang sudah dijadikan rutinitas Yayasan Pendidikan tingkat TK, SD, SMP sampai SMU tersebut. Sedangkan kelas yang lain juga tampak sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang mencabuti rumput, menanam pohon baru, memberi pupuk dan ada pula yang saling dorong dengan teman-temannya. Semua murid tampak menikmati hari yang indah ini. Sinar mentari serasa tersenyum tak henti-hentinya seperti senyum seorang wanita yang duduk di kursi roda yang tengah menyiram bunga bersama gadis-gadis kecil di samping kanan kirinya.
“Bu, mawarnya sudah mekar, sudah mekar!” teriak salah satu dari mereka, melompat-lompat kecil, kegirangan.
“Ah … kamu benar, Nila,” sahut wanita berkursi roda itu.
“Ini semua berkat kerajinan kalian merawat bunga-bunga ini dan selalu giat belajar.” lanjut wanita tua itu, memuji mereka yang serempak menjawab dengan, “Itu aku, Bu!?” Wanita tua itu terkikik geli melihat tingkah lucu murid-muridnya itu.
“Ibu kepala sekolah, sekarang sudah saatnya,” sela Ibu Nining, wakil kepala sekolah.
Wanita tua itu tersenyum, kala mendongak ke arah Ibu Nining.
Lalu berkata, “Bu Nining, cukup panggil saya Bu Aisyah saja. Tidak perlu formal di hari berkebun.”
Wanita tua itu, -Bu Aisyah- dalam hatinya tak henti-hentinya mengucap syukur atas segala karunia yang Tuhan berikan. Perjuangannya selama ini tidak sia-sia. Semangatnya yang menggebu-gebu dari dulu tak pernah padam, meski rintangan menerjang dan cobaan silih berganti, ia tetap melanjutkan sekolah agar terwujud cita-cita sucinya. Begitu pula ia selalu mengingatkan anak-anak didiknya, karena bila bersungguh-sungguh semua pasti tercapai. Cita-citanya menjadi seorang Guru, telah tercapai.
puisi Perpisahan teman
sudah terlewatkan kenangan kenangan kita saat kita bersama tertawa dan bahagia kini engkau telah pergi hanya kenang kenangan yg tak terlupakan kau lah sahabat ku kita lalui bersama susah maupun senang kaulah sahabatku semenjak kita berpisah aku merasa kesepian tidak ada yg dapat menggantikan mu wahai….sahabat semoga kita bisa bertemu lagi di suatu tempat…… belajar
Rintihan hati – oleh Rinjani Dewi Kaili
ada kejenuhan saat kau tak lagi disini ada kebimbangan saat bibirmu tak lagi berucap ada keheningan saat kehampaan menemani ada tangis saat semuanya berakhir mungkin bukan saatnya untuk saling menyalahkan bukan saatnya tuk saling menyakiti dan bukan saatnya tuk bisa memahami bahwa cinta memang berbeda kita pernah dipersatukan kita pernah saling mencintai kita pernah slalu
perempuan kesepian
Akhir-akhir ini aku merasa sangat kesepian, tidak ada teman bicara yang bisa aku ajak cerita dan bertukar pikiran, padahal.. aku ini termasuk perempuan yang pandai berbicara dan tidak membosankan. hmm.. sampai akhirnya malam ini ada wanita muda yang dapat aku ajak bicara.
"Malam" sapaku pada wanita muda berambut pendek, berbadan cukup besar yang terbaring lemah diatas ranjang tidurnya
"Malam" jawabnya pelan. suaranya mengingatkanku pada masa-masa lemahku dulu
"Baru pindah ya?" tanyaku dengan penuh kelembutan sambil berjalan menuju tempat tidurnya
"Iya tadi sore. 2 hari yang lalu baru beres melahirkan anak kedua" katanya dengan nada menjelaskan.
"Oooh begitu, pantas baru lihat. Bagaimana kondisi anaknya neng? sehat?" benar kan? aku memang orang yang pandai berbicara.
"Alhamdulillah perempuan, sehat, pas lahir 3kg. Teteh abis melahirkan juga?" tanyanya dengan antusias sambil mengangkat badannya dari posisi tidur menjadi setengah duduk dialasi oleh bantal di punggungnya.
"Iya, anak saya juga perempuan neng…………"
Dan akhirnya perbincangan kami berlanjut sampai larut malam, tak terasa 20menit berlalu sejak perbincangan awal kami.
"Teteh kamarnya dimana ya siapa tau nanti saya bisa lihat anaknya" wanita muda itu memandangku dengan penuh semangat, seakan menemukan teman seperjuangan.
"Lah, saya kan sekamar sama neng :)" jawabku tersenyum.
"Disebelah mana teh?" wanita itu bertanya seakan kebingungan mencari tempat tidur yang kosong diruangannya sekarang.
"Itu" aku menunjuk kasur kapuk yang dilipat rapi diatas lemari tua sebelah ranjang kosong yang letaknya hanya beberapa petak dari tempat kami berada.
"Oooh" terdengar suara kecil dari wanita muda yang raut wajahnya mulai pucat pasi seakan tidak ingin banyak bertanya lagi. karena perasaanku tak enak, aku sudahi pembicaraan malam ini.
"Yauda neng, izin pamit mau tengok anak dulu ya, sampai jumpa besok malam. nanti mampir ya" aku membalikan badan sambil tersenyum singgung dan segera keluar dari ruangan itu. Aku tak berani membalikan badan karena perasaanku benar-benar tak enak.
Malam berikutnya, wanita muda itupun hilang. Benarkan perasaanku tak enak? Aku kesepian lagi. Tak lama setelah aku meratapi nasib, ada beberapa suster yang melewati kamarku ini. mereka berbincang dan berbisik. aku tak suka itu.
Suster 1: "tadi pagi ada ibu melahirkan pindah lagi dari ruang ini, katanya semalam ibu itu berbincang bersama wanita yang katanya mirip sundel bolong, awalnya sih manis, eh pas balik badan punggungnya busuk"
Suster 2: “HHIIIYY serem, jangan-jangan itu arwah penasaran perempuan yang meninggal karena melahirkan beberapa bulan yang lalu lagi? dulu dia kan kamarnya disini"
Suster 1: "Eeeeh udah ah, jadi merinding, yuk ah jangan lama-lama disini"
.. Hmmmm benar kan, perasaanku tak enak. Padahal aku tak pernah berniat jahat kepada mereka semua, aku hanya ingin ada teman bicara. Sejak beberapa bulan yang lalu setelah kematianku karena pendarahan ketika melahirkan, aku benar-bener kesepian. Suamiku pergi, anakku ikut dengan suamiku. Aku disini, sendiri. tidak bisa keluar. Tolong siapapun, temani aku.
cerpen kelas malam
Cintya berlari diburu waktu menuju gedung laboratorium biokimia pangan yang berjarak sepuluh meter dari gerbang kampusnya. Malam ini ada ujian praktikum biokimia pangan. Cintya terlambat lima belas menit. Ia sudah bisa membayangkan dua tanduk di kepala asisten praktikumnya. Biasanya gadis itu tak pernah berani berjalan sendirian di gedung laboratorium karena ia pernah melihat penampakan disana. Tapi malam ini, keterlambatannya membuatnya terburu-buru dan lupa kalau sekarang ia berlari sendirian di gedung terangker yang ada di kampusnya. Pintu laboratorium biokimia sudah ada sepuluh meter di depan mata Cintya. Ia harus menuruni sepuluh anak tangga untuk sampai di sana. Langkahnya tergesa-gesa, dan kesialan ditemuinya. Sepatu berhak tinggi milik Cintya menginjak rok panjangnya hingga membuat gadis itu terpeleset dan jatuh berguling-guling menuruni tangga. Ia jatuh tersungkur dan wajahnya membentur keras lantai di bawah anak tangga. Cintya tak mampu melihat apapun. Gadis itu pun pingsan.
Beberapa menit kemudian, Cintya tersadar dari pingsannya. Ia melihat koridor laboratorium yang ada di depannya begitu sepi dan dingin. Kabut malam yang berarak pelan membuat tempat itu begitu angkuh. Pelan, Cintya bangun dari lantai. Ia merapikan pakaian dan rambutnya. Tak ada luka di wajah, tangan, ataupun kakinya. Cintya juga masih bisa berjalan. Jatuh dari tangga sedikit membuat kepalanya pusing tapi tak membuatnya lupa kalau ia harus mengikuti ujian biokimia pangan.
Cintya buru-buru mendatangi ruang praktikum biokimia pangan. Setelah membuka pintunya, isi ruangan itu sepi tak berpenghuni. Cintya lalu melihat arlojinya. Ia yakin kalau malam itu adalah hari Kamis, 12 Desember 2010 pukul 7 malam. Tapi kenapa tak ada seorang pun di dalam kelas biokimia?
Cintya bingung dan belum menemukan jawabannya. Gadis itu lalu mendatangi salah satu meja di dalam ruang praktikum. Ia melihat banyak kertas ujian tergeletak rapi di sana. Kertas itu bergerak sendiri dan ada yang menorehkan tinta di atasnya, namun yang menulisinya tidak terlihat (seperti kertas ujian hantu). Cintya melangkah mundur karena ketakutan. Tiba-tiba saja seperti ada orang yang menabrak pundaknya dari belakang. Cintya terdorong dan terjatuh ke lantai. Ia melihat secarik kertas ujian melayang di depannya dan mendarat satu kaki di ujung sepatunya. Ada tangan asing yang meraih kertas itu lalu menghilang. Cintya merasakan gapaian tangan itu menyentuh sepatunya. Ia semakin ketakutan. Ujian praktikum malamnya berubah menjadi ujian alam gaib. Cintya bangun dari lantai dan berlari menuju pintu. Tapi langkahnya terhadang oleh kemunculan Andini, teman Cintya yang tewas bunuh diri (menjatuhkan dirinya dari lantai lima gedung kuliah) lima hari yang lalu. Cintya shock dan menjerit ketakutan. Andini menarik Cintya dan membungkam mulutnya tapi Cintya terus memberontak dan mendorong tubuh dingin Andini. Ia seperti menyentuh mayat beku saat memegang kulit Andini.
Andini berusaha mengajak Cintya keluar dari ruang praktikum namun Cintya menolak. Saat Cintya melangkah mundur, kembali ke meja praktikum, seperti ada banyak orang yang berlarian menabrak tubuhnya dari belakang. Cintya kembali terdorong dan terjatuh ke lantai. Pintu ruang praktikum terbuka lalu tertutup dan terkunci dari luar dengan sendirinya. Cintya nyalang kebingungan. Tatapannya beralih ke Andini yang masih berdiri menunggunya di samping pintu. Cintya heran kenapa arwah Andini menganggunya. Lalu terdengar suara teriakan yang gsangat keras dari arah tangga di luar ruang praktikum.
Cintya bangun dari lantai dan berlari membuka pintu. Andini tersenyum pelik melihat ketakutan Cintya. Ia tak berhasil membuka pintu nya karena terkunci dari luar. Andini lalu menepuk pundak Cintya. Cintya diam menunggu apa yang akan dilakukan Andini. Pintu yang terkunci itu didorong Andini dengan telapak tangannya dan langsung terbuka. Andini menyuruh Cintya untuk segera keluar.
Di luar ruang praktikum, Cintya melihat ada nenek-nenek tua berpakaian Belanda, berdiri membungkuk memegang alat pel. Nenek itu tersenyum lebar saat berpapasan dengan Cintya. Wajah nenek itu sangat menyeramkan seperti hantu. Cintya menggelengkan wajahnya dan langsung membalikkan badan. Cintya berlari menuju tangga yang tadi dilaluinya. Samar-samar, ia melihat teman-temannya yang tadi tak dilihatnya, berkerumun di depan tangga. Cintya buru-buru menghampiri mereka. Cintya penasaran, apa yang sedang dilihat teman-temannya. Satu per satu pundak teman-temannya direngkuh Cintya tapi tak ada yang menolehnya. Setelah menerobos kerumunan teman-temannya, gadis itu akhirnya melihat dirinya sendiri terbaring bersimbah darah di bawah anak tangga.
“Tidaaak……!”
Cintya berteriak histeris lalu lari dari kerumunan teman-temannya. Ia kembali ke lorong gelap di depan ruang praktikum. Di sana Andini dan Nenek Penjaga Sekolah tersenyum melihat tingkah Cintya. Gadis itu memegangi kepalanya dan terus berteriak. Mereka lalu berdiri di depan cermin lebar yang terpajang di tembok ujung lorong. Cintya melihat wajahnya seperti wajah Andini dan Nenek Tua Penjaga Sekolah. Mata gadis itu berlinangan air mata. Andini lalu merengkuhnya dan berkata, “Selamat datang, Cintya!”
Beberapa menit kemudian, Cintya tersadar dari pingsannya. Ia melihat koridor laboratorium yang ada di depannya begitu sepi dan dingin. Kabut malam yang berarak pelan membuat tempat itu begitu angkuh. Pelan, Cintya bangun dari lantai. Ia merapikan pakaian dan rambutnya. Tak ada luka di wajah, tangan, ataupun kakinya. Cintya juga masih bisa berjalan. Jatuh dari tangga sedikit membuat kepalanya pusing tapi tak membuatnya lupa kalau ia harus mengikuti ujian biokimia pangan.
Cintya buru-buru mendatangi ruang praktikum biokimia pangan. Setelah membuka pintunya, isi ruangan itu sepi tak berpenghuni. Cintya lalu melihat arlojinya. Ia yakin kalau malam itu adalah hari Kamis, 12 Desember 2010 pukul 7 malam. Tapi kenapa tak ada seorang pun di dalam kelas biokimia?
Cintya bingung dan belum menemukan jawabannya. Gadis itu lalu mendatangi salah satu meja di dalam ruang praktikum. Ia melihat banyak kertas ujian tergeletak rapi di sana. Kertas itu bergerak sendiri dan ada yang menorehkan tinta di atasnya, namun yang menulisinya tidak terlihat (seperti kertas ujian hantu). Cintya melangkah mundur karena ketakutan. Tiba-tiba saja seperti ada orang yang menabrak pundaknya dari belakang. Cintya terdorong dan terjatuh ke lantai. Ia melihat secarik kertas ujian melayang di depannya dan mendarat satu kaki di ujung sepatunya. Ada tangan asing yang meraih kertas itu lalu menghilang. Cintya merasakan gapaian tangan itu menyentuh sepatunya. Ia semakin ketakutan. Ujian praktikum malamnya berubah menjadi ujian alam gaib. Cintya bangun dari lantai dan berlari menuju pintu. Tapi langkahnya terhadang oleh kemunculan Andini, teman Cintya yang tewas bunuh diri (menjatuhkan dirinya dari lantai lima gedung kuliah) lima hari yang lalu. Cintya shock dan menjerit ketakutan. Andini menarik Cintya dan membungkam mulutnya tapi Cintya terus memberontak dan mendorong tubuh dingin Andini. Ia seperti menyentuh mayat beku saat memegang kulit Andini.
Andini berusaha mengajak Cintya keluar dari ruang praktikum namun Cintya menolak. Saat Cintya melangkah mundur, kembali ke meja praktikum, seperti ada banyak orang yang berlarian menabrak tubuhnya dari belakang. Cintya kembali terdorong dan terjatuh ke lantai. Pintu ruang praktikum terbuka lalu tertutup dan terkunci dari luar dengan sendirinya. Cintya nyalang kebingungan. Tatapannya beralih ke Andini yang masih berdiri menunggunya di samping pintu. Cintya heran kenapa arwah Andini menganggunya. Lalu terdengar suara teriakan yang gsangat keras dari arah tangga di luar ruang praktikum.
Cintya bangun dari lantai dan berlari membuka pintu. Andini tersenyum pelik melihat ketakutan Cintya. Ia tak berhasil membuka pintu nya karena terkunci dari luar. Andini lalu menepuk pundak Cintya. Cintya diam menunggu apa yang akan dilakukan Andini. Pintu yang terkunci itu didorong Andini dengan telapak tangannya dan langsung terbuka. Andini menyuruh Cintya untuk segera keluar.
Di luar ruang praktikum, Cintya melihat ada nenek-nenek tua berpakaian Belanda, berdiri membungkuk memegang alat pel. Nenek itu tersenyum lebar saat berpapasan dengan Cintya. Wajah nenek itu sangat menyeramkan seperti hantu. Cintya menggelengkan wajahnya dan langsung membalikkan badan. Cintya berlari menuju tangga yang tadi dilaluinya. Samar-samar, ia melihat teman-temannya yang tadi tak dilihatnya, berkerumun di depan tangga. Cintya buru-buru menghampiri mereka. Cintya penasaran, apa yang sedang dilihat teman-temannya. Satu per satu pundak teman-temannya direngkuh Cintya tapi tak ada yang menolehnya. Setelah menerobos kerumunan teman-temannya, gadis itu akhirnya melihat dirinya sendiri terbaring bersimbah darah di bawah anak tangga.
“Tidaaak……!”
Cintya berteriak histeris lalu lari dari kerumunan teman-temannya. Ia kembali ke lorong gelap di depan ruang praktikum. Di sana Andini dan Nenek Penjaga Sekolah tersenyum melihat tingkah Cintya. Gadis itu memegangi kepalanya dan terus berteriak. Mereka lalu berdiri di depan cermin lebar yang terpajang di tembok ujung lorong. Cintya melihat wajahnya seperti wajah Andini dan Nenek Tua Penjaga Sekolah. Mata gadis itu berlinangan air mata. Andini lalu merengkuhnya dan berkata, “Selamat datang, Cintya!”
Langganan:
Postingan (Atom)